Dalam rangka mendukung pengembangan Industri Garam
Nasional, disamping pengembangan fisik-produksi, perlu dilengkapi dengan
penataan sektor pemasaran, dalam hal ini menyempurnakan tata niaga garam
nasional.
Saat ini tata niaga garam
didasarkan kepada:
1. Keppres
Nomor
69/1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium
2. Peraturan
Menteri Perindustrian Nomor 42/M-IND/PER/II/2005 tentang Pengolahan, Pengemasan
dan Pelabelan Garam Beryodium
3. Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 20/M-Dag/Per/9/2005 tentang Ketentuan Impor Garam.
4. Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 44/M-Dag/Per/101 2007 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-Dag/Per/9/2005 tentang
Ketentuan Impor Garam.
Berdasarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1994 Tentang Pengadaan Garam
Beriodium, bahwa garam yang dapat diperdagangkan untuk keperluan konsumsi
manusia atau ternak, pengasinan ikan, atau bahan penolong industri pangan
adalah garam beryodium yang telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), harus
melalui proses pencucian dan iodisasi, serta dikemas dan berlabel.
Dari Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 20/M-Dag/Per/9/2005 tentang Ketentuan Impor Garam dan
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 44/M-Dag/Per/1012007
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-Dag/Per/ 9/2005
tentang Ketentuan Impor Garam maka Importir Terdaftar
Garam, selanjutnya disebut IT Garam, adalah perusahaan pemilik Angka Pengenal
Importir Umum (API-U) yang disetujui untuk mengimpor garam tertentu
untuk memenuhi kebutuhan industri yang tidak melakukan importasi sendiri dan
atau mengimpor garam tertentu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.
Kelembagaan Garam Rakyat
1.
Sebagian besar
petani garam hanya sebagai tenaga penggarap lahan milik orang kaya
2.
Sebagian besar
tenaga penggarap kondisi sosial ekonomi
rendah
3.
Posisi tawar petambak garam terhadap pihak lain
(pedagang maupun perusahaan) sangat lemah.
Kerugian yang sering dialami oleh petani garam adalah
akibat dari:
1.
Harga garam pada
saat panen raya sering anjlok (kebijakan harga pemerintah tidak dirasakan
petani)
2.
Petani hanya
sebagai price taker (tidak mengetahui
trend harga dan spesifikasi kualitas
garam)
3.
Sangat Jarang
petani memiliki akses pemasaran langsung ke perusahaan garam
4.
Pengelolaan Usaha
Garam Rakyat dilakukan secara personal. Sebagian besar di wilayah sentra
produksi belum terbentuk kelompok usaha garam
5.
Pembinaan petani
garam oleh dinas terkait dan perusahaan sangat jarang (tidak intensif dan
massif)
6.
Sebagian kelompok
usaha garam dibentuk karena ada kepentingan sesaat (proyek/ politik), hanya
sedikit kelompok garam yang usahanya mandiri
7.
Telah terbentuk
asosiasi garam seperti ASPEGAB (Asosiasi Petambak Garam rakyat Bahan Baku),
Paguyuban Petani Garam Rakyat, dan lain-lain. Tetapi sangat sedikit peran
asosiasi untuk kepentingan petambak garam (kepanjangan perusahaan/pribadi)
8.
Penguatan
kelembagaan usaha untuk menghasilkan kelompok usaha garam yang mandiri sangat
penting untuk keberhasilan pemberdayaan usaha garam rakyat.
Sumber: BP3 Banyuwangi