Koperasi
merupakan badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum
koperasi dengan melandaskan kegiatannya atas dasar prinsip koperasi dan kaedah
ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat
sekitarnya sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas
kekeluargaan (Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian).
Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 1959 tentang
Perkembangan Gerakan Koperasi bagian II tentang Penjenisan Koperasi membedakan koperasi berdasarkan
pada golongan dan fungsi ekonomi. Dalam peraturan ini dasar penjenisan koperasi
ditekankan pada lapangan usaha dan tempat tinggal para anggota sesuatu
koperasi. Pada pasal 3 mengutamakan diadakannya jenis-jenis koperasi sebagai
berikut:
1.
Koperasi Desa
2.
Koperasi Pertanian
3.
Koperasi Peternakan
4.
Koperasi Perikanan
5.
Koperasi Kerajinan/Industri
6.
Koperasi Simpanan Pinjam.
Yang
dimaksud Koperasi Perikanan ialah koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari
pengusaha-pengusaha pemilik alat perikanan, buruh/nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pemasar hasil perikanan yang kepentingan
serta mata pencahariannya langsung berhubungan dengan usaha perikanan yang
bersangkutan dan menjalankan usaha-usaha yang ada sangkut-pautnya secara
langsung dengan usaha perikanan mulai dari produksi, pengolahan sampai pada
pembelian atau penjualan bersama hasil-hasil usaha perikanan yang bersangkutan.
SEJARAH
Kehadiran Koperasi Perikanan di Indonesia sebenarnya sudah lama, jauh sebelum
kemerdekaan RI. Perkumpulan nelayan yang bekerja dalam bentuk koperasi diawali
pada tahun 1912 di Tegal, kemudian berkembang di kresidenan Pekalongan, Cirebon
dan Semarang yang secara berurutan sebagai berikut:
1. Misoyo Mino di Tegal tahun 1912
SEJARAH
1. Misoyo Mino di Tegal tahun 1912
2. Sari, Sawojajar-Brebes tahun 1916
3. Ngupoyo Mino, Batang tahun 1916
4. Misoyo Sari, Tanjung Sari-Pemalang tahun 1919
5. Mino Soyo, Wonokerto-Pekalongan tahun 1919
6. Sumitra, Indramayu tahun 1919
7. Misaya Mina, Eretan-Indramayu tahun 1927
8. Ngupaya Mina, Dadap-Indramayu tahun 1930
9. Ngupaya Sroyo, Bandengan-Kendal tahun 1932
10. Misoyo Ulam, Semarang tahun 1933 dan
11. Pabelah Bumi Putera, Gebang Ilir-Cirebon tahun 1933
(Soewito.et,al.,2000)
Berbagai Koperasi perikanan (nelayan) tersebut pada awalnya hanya
menyelenggarakan jual beli ikan hasil tangkapan melalui pelelangan, kemudian
berkembang dengan mengadakan usaha perkreditan untuk biaya penangkapan.
Pungutan yanh diperoleh dari hasil lelang dipergunakan untuk ongkos
administrasi, dana asuransi kecelakaan di laut, pembelian bahan perikanan,
pembuatan perahu dan penolahan ikan secara tradisional (seperti pengasinan,
pengeringan dan pemindangan). Dalam masa penduduk Jepang (1942-1945), semua organisasi
nelayan itu dijadikan Kopersai Kumiai perikanan. Tugas utamanya adlah
mengunpulkan dan menawetkan ikan tuntuk keperluan bala tentara jepang.
Setelah
kemerdekaan RI, mulailah diadakan pembenahan organisasi Kopersai perikanan.
Pada Kongres Koperasi perikanan Laut ke-1 tanggal 11 April 1947 di Magelang
dibentuklah Gabungan Pusat Koperasi
Perikanan Indonesaia (GPKPI) dengan tujuan:
- Meningkatkan taraf hidup nelayan yang layak sebagai
warga negara yang merdeka.
- Meningkatkan produksi perikanan laut untuk
kepentingan bangsa Indonesia.
Oleh karena GPKPI direstui oleh Departemen Perekonomian maka GPKPI merupakan
organisai persatuan koperasi yang pertama dan tertua di tanah air, yang
meliputi seluruh wilayah RI. Selanjutnya, GPKPI oleh Departemen Pertanian
ditetapkan sebagai satu-satunya organisasi yang mewakili masyarakat nelayan
seluruh Indonesia. Keanggotaan GPKPI terdiri dari seluruh Pusat Koperasi
Perikanan Laut yang wilayah kerjanya masing-masing mencakup satu karesidenan.
Pada masa ini hirarki organisasi GPKPI terdiri dari tiga tingkat, yaitu:
1. Koperasi
Peikanan Laut (KPL) primer tingkat kabupaten
2. Pusat Koperasi
Perikanan Alut (PKPL) tingkat karesidenan dan
3. GPKPI tingkat
nasional. Sehubungan dengan upaya Belnada untuk menjajah kembali Indonesia
melalui Agresi I dan II (1946-1948), maka kinerja GPKPI yang sebelumnya baik
menjadi menurun drastis.
Pada tahun 1059 setelah Pemerintah RI kembali ke
Yogyakarta, GPKPI mengadakan konsolidasi organisasi. Kemudian, dalam rapat
tahunan GPKPI yang juga dihadiri dan mendapat pengarahan dari Bung Hatta
(sebagai Bapak Koperaasi Indonoesia) pada tahun 1951 di Semarang, organisasi
disederhanakan menjadi dua tingkat saja:
1. Koperasi Perikanan Laut (KPL) Primer
2. Gabungan Koperasi Perikanan Indonesia (GPKI)
Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah NO.60/1959
tentang Perkembangan Gerakan Koperasi, organisasi berubah menjadi tiga tingkat
lagi. Kemudian dalm Musyawarah Koperasi Perikanan Laut tahun 1962 di Cipanas,
berubah menjadi empat tingkat yaitu :
1. Koperasi Perikanan Laut (KPL) tingkat primer
2. Pusat Koperasi Perikanan Laut (PKPL) tingkat
Kabupaten
3. Gabungan Koperasi Perikan Laut (GPKL) tingkat
Provinsi dan
4. Induk Koperasi Perikanan Indonesia (IKPI) tingkat
Nasional
Untuk membina Koperasi perikanan pada tahun 1969
dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Direktorat Jendral Koperasi dan
Direktorat Jenderal Perikanan yang mengatur bahwa pembinaan manajemen dan
organisasi koperasi dilakukan oleh Direktorat Jenderal Koperasi, sementara pembinaan
teknis perikanan menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Perikanan.
Kemudian, dengan dikeluarkannya Undang-undang No.12/1967 tentang Pokok-pokok
Perkoperasian dan kemudian Instruksi Presiden NO.2/1997 tentang Pembentukan
Koperasi Unit Desa (KUD), susunan organisai akhirnya berubah menjadi:
1. KUD Mina (tingkat Kecamatan/Kabupaten/Kota)
2. PUSKUD Mina (tingkat Provinsi) dan
3. IKPI (tingkat Nasional)
Dalam perkembangan selanjutnya, usaha budidaya ikan,
penangkapan ikan di perairan umum, bersama usaha penangkapan di laut, dimasukkan
ke dalam kegiatan usaha KUD Mina. Penambahan kegiatan ini memperlihatkan berkembangnya
fungsi KUD Mina yang meliputi: bimbingan dan penyuluhan, peningkatan jumlah
anggota pemupukan swadaya anggota nelayan dan petani ikan, dan penyiapan tenaga
pendidikan dan latihan bagi nelayan dan petani ikan. Semuanya dalam kesatuan
organisai Koperasi nelayan/petani ikan. Namun sayang, pelaksanaannya di
lapangan kurang konsisten. Meskipun kinerja sudah bekerja secara optimal
seperti yang diharapkan. Kebanyakan koperasi perikanan belum mampu memberi
manfaat ekonomi atau kesejahteraan bagi para anggotanya.
Jika
melihat perkembangan koperasi perikanan di Indonesia, harus diakui saat ini
menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Dalam pengertian bahwa
sebagai salah satu pilar penopang perekonomian Indonesia, keberadaan koperasi
sangat kuat dan mendapat tempat tersendiri di kalangan pengguna jasanya.
Koperasi telah membuktikan bahwa dirinya mampu bertahan di tengah gempuran
badai krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Pendekatan Kebijakan Reformasi Koperasi
Di sisi lain banyak
ditemukan penyimpangan praktek koperasi dari jati dirinya, berupa:
a. Salah ‘niat’ hanya untuk memperoleh bantuan
semata;
b. Salah ‘paham’ dengan menggunakan badan hukum
koperasi untuk kepentingan ‘usaha pribadi’;
c. Salah ‘urus’ yang mengakibatkan usaha koperasi
tidak berkembang, bahkan defisit;
d. Salah ‘bina’ akibat keterbatasan kompetensi dan
komitmen dari pembina koperasi.
MASALAH/KENDALA
Permasalahan yang sering dijumpai dalam pengelolaan koperasi adalah:
1. Pengelolaan yang
belum Profesional;
2. Lemahnya
Kualitas Sumberdaya manusia;
3. Rendahnya
Partisipasi Anggota;
4. Lembaga
Keuangan yang belum percaya pada Lembaga Koperasi;
5. Akses
Kemitraan dan Jaringan Usaha;
6. Kurangnya teknologi
dan kemasan produk;
7. Pemasaran dan
Pangsa Pasar.
Saat ini masalah yang masih di hadapi koperasi dan
bisa menghambat perkembangan koperasi di Indonesia menjadi problematik.
Pengelolaan koperasi yang kurang efektif, baik dari segi manajemen maupun
keuangan menjadi salah satu kendala berkembangnya koperasi. Hal ini disebabkan
masih rendahnya tingkat kemampuan SDM yang terlibat dalam lembaga ekonomi
tersebut.
Menurut Rokhmin Dahuri mantan Menteri Kelautan dan
Perikanan, kendala dan permasalahan yang menyebabkan kinerja koperasi
perikanan pada umumnya rendah adalah:
# Kualitas Sumberdaya manusia (SDM)
pengurus dan pengelola Koperasi perikanan sebagian besar masih rendah.
# Lemahnya manajemen
# Kurangnya permodalan
# Ulah para pengusaha sebagai kompetitor.
# Kurangnya kesadaran masyarakat perikanan
akan arti pentingnya koperasi.
# Kurangnya keberpihakan pemerintah kepada
Koperasi perikanan.
(a). dari sisi kelembagaan
1. Kualitas Sumberdaya manusia (SDM) pengurus dan
pengelola Koperasi perikanan sebagian besar masih rendah.
Pada umumnya kualitas Sumber Daya Manusia pengurus dan
pengelola koperasi perikanan tidak memiliki kemampuan (pengetahuan dan
keterampilan) yang memadai, baik dalam hal manajemen dan organisasi koperasi maupun
dalam hal teknis dan bisnis perikanan yang mencakup perikanan tangkap,
perikanan budidaya, penanganan dan pengolahan hasil perikanan, serta
perdagangan produk perikanan.
Sering kali para pengurus dan pengelola koperasi
perikanan juga dilanda penyakit moral, kerja malas, tidak kreatif dan
produktif, tetap korupsi. Dengan kondisi kualitas SDM pengurus dan pengelola
koperasi perikanan semacam ini, wajar jika banyak koperasi perikanan selalu
rugi atau pun berjalan terengah-engah.
Keanggotaan dalam Koperasi perikanan yang kuantitasnya
semakin lama semakin berkurang.
Keadaan keanggotaan ditinjau dari segi kuantitas
tercermin dari jumlah anggota yang semakin lama semakin berkurang. Masalahnya
kenggotaan koperasi yang ada sekarang belum menjangkau bagian terbesar dari
masyarakat.
(b). dari sisi usaha
2. Lemahnya manajemen
Pada beberapa koperasi perikanan ada manajer yang
kurang mempunyai kemampuan sebagai wirausaha. Di antara mereka bahkan masih ada
yang kurang mampu untuk menyusun rencana, program, dan kegiatan usaha.
Padahal mereka harus memimpin dan menggerakkan karyawan untuk melaksanakan
rencana, program, dan kegiatan usaha yang ditentukan. Penilaian terhadap
keadaan serta mengadakan penyesuaian rencana, program, dan kegiatan usaha
setiap kali ada perkembangan dalam keadaan yang dihadapainya. Dalam pelaksanaan
usaha, koperasi masih belum sepenuhnya mampu mengembangkan kegiatan di berbagai
sektor perekonomian karena belum memiliki kemampuan memanfaatkan kesempatan
usaha yang tersedia. Belum sepenuhnya tercipta jaringan mata rantai tataniaga
yang efektif dan efisien, baik dalam pemasaran hasil produksi anggotanya maupun
dalam distribusi bahan kebutuhan pokok para anggotanya.
3. Kurangnya permodalan
Terbatasnya modal yang tersedia khususnya dalam bentuk
kredit dengan persyaratan lunak untuk mengembangkan usaha, terutama yang
menyangkut kegiatan usaha yang sesuai dengan kebutuhan anggota, di luar
kegiatan program pemerintah. Selain itu koperasi masih belum mampu
melaksanakan pemupukan modlal sendiri yang mengakibatkan sangat tergantung pada
kredit dari bank walaupun biayanya lebih mahal.
4. Ulah para pengusaha sebagai kompetitor.
Perilaku ingin meraup untung sebesar-besarnya tanpa
mengindahkan nasib nelayan para pengusaha menengah-besar dimana koperasi berada
juga seringkali mematikan kinerja koperasi perikanan. Dalam prakteknya para“pengusaha
nakal” menjual seluruh kebutuhan melaut para nelayan (alat tangkap,
BBM, beras, rokok, dll)lebih murah dari yang selama ini disediakan oleh koperasi
perikanan. Pada saat yang sama, para pengusahaan pemburu rente ini membeli ikan
hasil tangkapan lebih mahal ketimbang yang selama ini dibeli koperasi
perikanan.
Praktek semacam ini dilakukan oleh para pengusaha
nakal sampai koperasi tidak mampu bersaing dan akhirnya gulung tikar. Setelah
koperasi perikanan bangkrut, baru kemudian para lintah darat, tengkulak dan
pemburu rente ini mencekik leher para nelayan, dengan cara menaikkan semua
bahan kebutuhan melaut lebih mahal ketimbang harga pasar, dan sebaliknya
membeli hasil tangkapan nelayan dengan harga yang jauh lebih murah daripada
harga pasar.
(c). dari sisi lingkungan
Aspek lingkungan yang terdiri dari kondisi ekonomi,
politik, sosial dan budaya, tidak dapat dilepaskan dari proses pengembangan
koperasi. Di satu pihak kondisi tersebut dapat memberikan kesempatan, di pihak
lain dapat menimbulkan hambatan bagi perkembangan koperasi. Adapun kondisi
lingkungan yang dapat diidentifikasikan, sebagai berikut:
5. Kurangnya kesadaran masyarakat perikanan akan arti
pentingnya koperasi.
Kurangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya untuk
memperbaiki diri, meningkatkan kesejahteraanya, atau mengembangkan diri secara
mandiri. Sikap sebagian besar masyarakat di lingkungan masyarakat yang
miskin dirasakan masih sulit untuk diajak berusaha bersama, sehingga di
lingkungan semacam itu kehidupan berkoperasi masih sukar
dikembangkan. Padahal Kesadaran ini adalah pondasi utama bagi pendirian
koperasi sebagai motivasi. Namun permasalahan tersebut kemungkinan besar juga
disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan citra buruk koperasi itu
sendiri. Sebagai organisasi yang membawa unsur pembaruan, koperasi sering
membawa nilai-nilai baru yang kadang-kadang kurang sesuai dengan nilai yang
dianut oleh masyarakat yang lemah dan miskin terutama yang berada di pedesaan.
6. Kurangnya keberpihakan pemerintah kepada
Koperasi perikanan.
Akhirnya, belum optimalnya kinerja sebagian besar
koperasi perikanan juga diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang belum
memihak kepada koperasi. Sampai sekarang, semua koperasi di Indonesia tidak
memiliki akses terhadap asset ekonomi prodktif, terutama permodalan dan
informasi. Sementara koperasi sangat sukar memperoleh kredit dari perbankan,
pengusaha swasta besar.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada pada
koperasi perikanan di Indonesia, pertama sekali sangat di butuhkan campur
tangan pemerintah dalam berbagai aspek masalah tersebut.untuk itu diharapkan
pemerintah peduli dan ikut menggerakkan serta mengawasi berjalannya koperasi
ini ditengah kehidupan masyarakat terutama angota dari koperasi perikanan itu
sendiri. misalnya melakukan penyuluhan untuk menimbulkan pemahaman masyarakat
tentang manfaat berkoperasi dan pemberian bantuan modal serta pengawasan
terhadap pelaksanaan koperasi perikanan tersebut.
Pendekatan Kebijakan Reformasi Koperasi
a. Rehabilitasi:
mengembalikan nama baik dan kepercayaan masyarakat terhadap Koperasi menata
kelembagaan dan usaha Koperasi berdasarkan data yang tervalidasi secara rinci
per individu koperasi (by name, by
address) dan sekaligus mengurangi/menekan jumlah koperasi yang tidak aktif.
a. Reorientasi: mengubah
pola pikir pembinaan dari kuantitas ke kualitas, baik terhadap pembina,
pengurus dan anggota koperasi, maupun masyarakat dalam mengembangkan
kelembagaan dan usaha koperasi tetap berpegang teguh pada nilai dan prinsip
koperasi.
Pengembangan:
mengembangkan skala usaha mencapai skala usaha yang lebih besar dan serta mampu
meningkatkan skala usaha skala usaha anggotanya pada berbagai bidang usaha
strategis untuk mengurangi ketimpangan sosial, serta handal dalam dipentas
nasional dan global.
Pustaka: --koperasiperikanan.blogspot.com, --khansadhiyasavira.wordpress.com