Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) merupakan
kewajiban yang sebentar lagi menjadi keniscayaan dalam kegiatan usaha pemeliharaan udang di tambak terutama pada pola maju/intensif. Sampai saat ini belum semua petambak mau
membangun IPAL, dengan alasan biaya yang tinggi atau faktor lainnya.
Tujuan membangun instalasi limbah adalah demi keberlangsungan
usaha dan minimalisasi pencemaran lingkungan, agar usaha ini berjalan lama dan
tidak digerogoti penyakit. Hal itu karena usaha tidak benar jika mencemari
lingkungan karena yang pada awalnya bersih.
Makanya, ketika memulai budidaya udang sistem
intensif bahkan superintensif di suatu kawasan tersebut, sudah harus merencanakan membangun
instalasi limbah. Hal ini bias dilakukan secara sederhana dan murah dengan mengadopsi
instalasi yang dimiliki pabrik minuman ringan atau lainnya. Di samping biaya
pembuatannya tidak mahal, juga lahan yang dibutuhkan tidak perlu luas.
Aplikasi IPAL
Setidak-tidaknya merogoh kocek hingga sebesar Rp 28
juta untuk sekali panen guna mengangkat dan membuang limbah padat dari kotoran
tambak yang menumpuk di kolam penampungan. Lalu limbah cair yang mengalir ke
laut masih kotor karena pengendapannya belum sempurna, terutama saat panen.
Kandungan zat-zat organiknya juga diperkirakan masih
tinggi yang tentunya menaikan TOM (Total Organic Matter/bahan
organik total) air laut. Karena itu mau tidak mau ia harus membangun instalasi
pengolahan air limbah agar hasilnya lebih baik.
Instalasi limbah yang dibangun terdiri dari kolam
penampungan tanah dan 4 kolam pengendapan yang dindingnya dicor beton,
masing-masing berukuran 4 kali 6 meter dengan ketinggian 1,2 meter. Keempat
kolam pengendapan ini dilapisi ijuk setebal 7 cm yang diikatkan di ujung pipa
paralon yang mengalirkan air menuju saluran pembuangan di bagian depan kolam.
Lalu lapisan kerikil setebal 10 cm di semua area kolam penampungan. Di atasnya
lagi dilapisi dengan pasir setebal 20 cm.
Pada bagian bawah setiap kolam dibuat pipa pengeluaran yang dialirkan ke saluran pembuangan. Lalu keempat kolam pengendapan dilapisi
dengan atap plastik transparan guna mempercepat pengeringan limbah melalui
sinar matahari dan jika hujan limbah yang sudah kering tidak kembali basah
menjadi kehujanan.
Limbah padat yang sudah mengendap di kolam penampungan
disedot dengan pompa untuk dialirkan ke kolam pengendapan. Secara
berangsur-angsur limbah cair meresap ke bagian bawah kolam pengendapan lalu
mengalir melalui pipa menuju saluran di depan bagian bawah. Limbah padat
setengah kering yang mengedap di kolam pengendapan diangkat, lalu dikeringkan
lagi.
Selanjutnya limbah padat ini dimasukan ke dalam karung
dan diberikan gratis ke masyarakat sekitar untuk dijadikan pupuk. Berdasarkan
ujicoba yang dilakukan para pembudidaya di pantai timur lampung, limbah padat
kering ini sangat cocok untuk ditaburkan ke tanaman sawit, kelapa dan semangka.
“Buah semangka yang dipupuk dengan limbah tambak, selain ukuran buahnya jauh
lebih besar dibandingkan dipupuk kimia juga rasanya lebih manis,” ungkap
Soleman, petambak udang asal Kaur, Bengkulu.
Kini yang dibangun baru instalasi berupa kolam-kolam
pengendapan limbah cair sehingga air yang keluar dari instalasi sudah jernih
seperti air di inlet. Selanjutnya bisa direncanakan air yang keluar dari
instalasi untuk disalurkan ke kolam-kolam lanjutan di mana di dalamnya ditanam
rumput laut, karang, dan ikan-ikan laut.
Tujuannya zat-zat organik yang masih mengalir bersama
limbah cair bisa dikonsumsi rumput laut, dan ikan serta mengendap di karang.
Dengan begitu kandungan zat-zat organik dalam air yang masuk ke laut
benar-benar di bawah ambang batas. Jika air laut tetap bersih maka sistem
budidaya terbuka bisa dipertahankan sehingga bisa menekan biaya. Saat ini biaya
listrik masih tinggi karena pembudidaya umumnya menggunakan genset.
Petak penampungan/pengendapan limbah udang
vaname
pola busmetik
di Dampyak, Tegal |
IPAL dengan Bakteri
Mengomentari model instalasi limbah tambak ala
industri yang dikembangkan Soleman, praktisi pengolahan limbah cair Supratikno
menilai, model tersebut sudah baik. “Ini jelas merupakan langkah maju dan
terobosan dalam budidaya udang di Lampung dan Bengkulu. Hanya untuk mempercepat
dan menyempurnakan penguraian zat-zat organik di dalam lumpur yang keluar dari
tambak bisa ditambahkan bakteri,” ia menyarankan.
Kalau di industri, hampir di semua instalasi
pengolahan limbahnya sudah menggunakan bakteri. Jika aplikasi bakteri ini juga
diadopsi di instalasi limbah tambak, tentu penguraiannya zat-zat organiknya
akan lebih cepat dan sempurna. Apalagi jika saat panen udang tentu volume
limbah cair dan lumpur yang dikeluarkan dari kolam sangat besar. Di sinilah
perlunya aplikasi bakteri agar proses penguraian zat-zat organik tidak perlu
waktu lama melalui pengendapan dan penggunaan rumput laut, karang dan
ikan.
Bakteri ini diaplikasikan di kolam penampungan
sehingga ketika lumpur di kolam ini disedot ke kolam pengendapan, zat-zat
organiknya sudah terurai. Bahkan bakteri-bakteri yang sudah terurai ini akan
meningkatkan mutu limbah padat yang bakal dijadikan pupuk organik nantinya.
Lalu, dengan aplikasi bakteri maka limbah dari pakan
akan lebih cepat jernih dan kandungan zat-zat organik airnya akan jauh lebih
rendah dibandingkan dengan yang tidak menggunakan bakteri. Mengenai tambahan
biaya pengadaan bakteri, Tikno menambahkan, tidak seberapa. Bahkan biaya yang
dikeluarkan untuk pembuatan kolam-kolam lanjutan untuk memelihara ikan dan
rumput laut jauh lebih besar. Apalagi kolam-kolam lanjutan ini tentu memakan
lahan yang lebih luas.
edited from: TROBOS Aqua Edisi-61/15 Juni – 14 Juli 2017