Senin, 23 Maret 2015

MENGENAL IKAN SIDAT

Kalau dilihat ikan Sidat ini bentuknya sekilas mirip dengan belut namun sebenarnya Sidat ini berbeda dengan belut, Sidat memiliki sirip dada, sirip punggung, dan sirip dubur yang sempurna, sehingga orang menduga sirip itu adalah “daun bertelinga” sehingga dinamakan pula “belut bertelinga”.

Sidat tumbuh besar di perairan tawar, setelah dewasa kembali ke laut untuk berpijah. Dalam siklus hidupnya, setelah tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang di perairan tawar, Sidat dewasa yang lebih dikenal dengan yellow eel berkembang menjadi silver eel (matang gonad) yang akan bermigrasi ke laut untuk memijah. Setelah memijah, induk akan mati.
Indonesia paling sedikit memiliki enam jenis ikan sidat yakni: Anguilla marmorata, A. celebensis, A. ancentralis, A. borneensis, A. bicolor bicolor dan A. bicolor pacifica. Di Jepang, laboratorium penelitian Sidat, berusaha untuk menemukan teknik pemijahan secara buatan seperti halnya kita memijahkan ikan mas, lele dan udang.
Ikan Sidat yang ditangkap dari alam khususnya A. bicolor termasuk ikan berlemak rendah dan sedang dengan kadar protein yang tinggi. Salah satu penelitian menghasilkan protein berkisar 17,5- 21,5%, air 71,5-75,9%, lemak 3,3-9,5% dan abu 1,0-1,6%.
Ikan Sidat merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki prospek karena sangat laku di pasar internasional seperti: Jepang, Hongkong, Belanda, Jerman, Italia dan beberapa negara lain; dengan demikian ikan Sidat ini memiliki potensi sebagai komoditas ekspor. Di Indonesia, Sidat banyak ditemukan di daerah-daerah yang berbatasan dengan laut dalam seperti pantai selatan Pulau Jawa, pantai barat Sumatera, pantai timur Kalimantan, pantai Sulawesi, pantai kepulauan Maluku dan Irian Barat.
Berbeda halnya di negara lain (seperti Jepang dan negara-negara Eropa), di Indonesia sumberdaya ikan sidat belum begitu banyak dimanfaatkan, padahal ikan liar ini baik dalam ukuran benih maupun ukuran konsumsi jumlahnya cukup melimpah. Tingkat pemanfaatan Sidat secara lokal (dalam negeri) masih sangat rendah, akibat belum banyak dikenalnya ikan ini, sehingga kebanyakan penduduk Indonesia belum familiar untuk mengkonsumsi sidat. Demikian pula pemanfaatan Sidat untuk tujuan ekspor masih sangat terbatas. Agar sumberdaya ikan Sidat yang keberadaannya cukup melimpah ini dapat dimanfaatkan secara optimal, maka perlu dilakukan langkah-langkah strategis yang diawali dengan mengenali daerah di sekitar kita yang memiliki potensi sumberdaya ikan Sidat mulai dari benih dan ukuran konsumsi yang kemudian dilanjutkan dengan upaya pemanfaatannya baik untuk konsumsi lokal maupun untuk tujuan ekspor. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan konsumen di Jepang yang sangat besar, yaitu ikan Sidat (Unagi atau Udanon, Jepang) yang banyak hidup di perairan Indonesia. Selain digemari karena kandungan gizi yang tinggi, harga Sidat sangatlah fantastis.

KARAKTERISTIK
Dalam ilmu taksonomi hewan, ikan Sidat diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum         : Chordata
Kelas          : Actinopterygii
Subkelas   : Neopterygii
Division     : Teleostei (Ikan bertulang belakang)
Ordo          : Anguilliformes (Sidat)
Famili        : Anguillidae
Genus        : Anguilla
Species      : Anguilla spp.

Tubuh Sidat bersisik kecil-kecil membujur, berkumpul dalam kumpulan-kumpulan kecil yang masing-masing kumpulan terletak miring pada sudut siku terhadap kumpulan-kumpulan di sampingnya. Bentuk tubuh yang memanjang seperti ular memudahkan bagi Sidat untuk berenang di antara celah-celah sempit dan lubang di dasar perairan. Warna tubuh abu-abu gelap di punggung, di bagian dada/perut berwarna keputihan.
Panjang tubuh ikan Sidat bervariasi tergantung jenisnya yaitu antara 50-125 cm. Ketiga siripnya yang meliputi sirip punggung, sirip dubur dan sirip ekor menyatu. Selain itu terdapat sisik sangat kecil yang terletak di bawah kulit pada sisi lateral. Perbedaan di antara jenis ikan Sidat dapat dilihat antara lain dari perbandingan antara panjang preanal (sebelum sirip dubur) dan predorsal (sebelum sirip punggung), struktur gigi pada rahang atas, bentuk kepala dan jumlah tulang belakang.
Sidat termasuk ikan karnivora (pemakan daging). Sama halnya dengan belut sawah (Monoterus albus/Fluta alba), lele (Clarias batracus), dan gabus (Ophiocephalus striatus). Di alam aslinya, Sidat memangsa ikan, kodok, udang, dan juga sesama Sidat (kanibalisme). Kanibalisme akan terjadi apabila populasi Sidat dalam satu koloni sangat besar, tetapi volume pakan kurang.

SIKLUS HIDUP
Sidat merupakan ikan catadromous, yakni ikan yang hidupnya di perairan air tawar di pedalaman. Baik berupa sungai besar, danau, waduk atau rawa, tetapi berkembang biak di laut. Indonesia paling sedikit memiliki enam jenis ikan Sidat yakni: Anguilla marmorata, A. celebensis, A. ancentralis, A. borneensis, A. bicolor bicolor dan A. bicolor pacifica. Jenis-jenis ikan tersebut menyebar di daerah-daerah yang berbatasan dengan laut dalam. Di perairan daratan (inland water) ikan sidat hidup di perairan estuaria (laguna) dan perairan tawar (sungai, rawa dan danau) dataran rendah hingga dataran tinggi.
Jenis Sidat yang sering ditangkap nelayan hanya dua yaitu sidat kembang (A. mauritiana) dan sidat anjing (A. bicolor). Kedua jenis ini berdiam dalam lubang pada cadas-cadas atau di antara sela-sela batu, dan yang disukai masyarakat adalah Sidat kembang. Sidat anjing kurang disukai, bahkan ditolak untuk menyantap dagingnya karena namanya yang diembel-embeli "anjing".
Sidat Indonesia A. bicolor bicolor, A. marmorata, maupun A. celebensis, populasinya sangat mengkhawatirkan. Sidat Sulawesi, A. celebensis yang terdapat di danau Poso, Sulawesi Tengah, malahan sudah sangat kritis keadaannya. Sebab Sidat ini hanya endemik di pulau Sulawesi. Beda dengan A. bicolor bicolor dan A. marmorata yang meskipun diberi nama Indonesia, sebaran habitatnya mulai dari Madagaskar sampai ke Pasifik. Meskipun populasi A. bicolor bicolor, dan A. marmorata masih tidak sekritis A. celebensis, namun penelitian untuk budidaya secara intensif sudah sangat mendesak. Budidaya ikan Sidat bukan sekadar usaha peternakan, melainkan sebuah mata rantai agroindustri yang satu sama lain saling terikat.
Larva sidat dan tingkat pertumbuhannya

Pada stadium larva, Sidat hidup di laut. Bentuknya seperti daun lebar, tembus cahaya, dan dikenal dengan sebutan leptocephalus. Larva ini hidup terapung-apung di tengah samudera. Leptocephalus hidup sebagai plankton terbawa arus samudera mendekati daerah pantai. Pada stadium elver, Sidat banyak ditemukan di pantai atau muara sungai.
Panjang tubuh 5-7 cm, tembus cahaya. Burayak (anak ikan/impun) akan hidup di air payau sampai umur satu tahun. Ketika itulah Sidat akan berenang melawan arus menuju hulu sungai. Setelah bertemu dengan perairan yang dalam dan luas, misalnya lubuk, bendungan, rawa atau danau, Sidat akan menetap dan tumbuh menjadi ikan buas dan liar. Impun dewasa inilah yang selanjutnya dikenal sebagai Sidat. Ketika itulah dia akan kembali ke laut lepas untuk kawin dan berkembang biak. Setelah berpijah, induk akan mati. Pola hidup Sidat bertolak belakang dengan ikan salmon (Salmonidae). Salmon justru hidup di laut, tetapi kawin dan berkembang biak di air tawar di pedalaman. Perilaku catadromous, tidak hanya terjadi pada Sidat, melainkan juga udang galah.


Perkembangan larva sidat dari leptocephalus sampai menjadi impun,
 yang banyak ditangkap di tepi pantai
JENIS-JENIS SIDAT
Sidat (eels) adalah ikan dari famili Anguillidae. Ada sekitar 16-20 spesies Sidat, yang kesemuanya merupakan genus Anguilla. Di antaranya adalah Sidat: Eropa (A. anguilla), Jepang (A. japonica),  Amerika (A. rostrata),  sirip pendek (A. australis),  putih (A. marmorata),  loreng (A. nebulosa),  loreng India (A. bengalensis bengalensis),  loreng Afrika (A. bengalensis labiata),  sirip pendek Indonesia (A. bicolor bicolor),  sirip pendek India (A. bicolor pacifica),  sirip panjang Indonesia (A. malgumora),  sirip panjang Sulawesi (A. celebensis),  sirip panjang Selandia Baru (A. dieffenbachii),  sirip panjang dataran tinggi (A. interioris),  sirip panjang Polynesia (A. megastoma),  sirip panjang Afrika (A. mossambica),  sirip pendek pasifik atau s pasifik selatan (A. obscura),  bintik sirip panjang atau sirip panjang Australia (A. reinhardtii).

KANDUNGAN GIZI
Komposisi kimia hasil perikanan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam di antaranya adalah penyakit dan keturunan (jenis/gen). Sedangkan faktor luar dipengaruhi oleh kondisi lingkungan baik biotik maupun abiotik. Stadia fisiologis juga akan mempengaruhi komposisi. Pada stadia juvenile, remaja, matang gonad, dan pasca memijah komposisi kimia akan disesuaikan dengan kebutuhan fisiologis dari hasil perikanan. Jenis makanan yang tersedia juga mempengaruhi komposisi kimia ikan. Semakin tinggi kadar protein pakan yang diberikan semakin tinggi pula kadar protein daging ikan yang terukur. Ikan Sidat yang ditangkap dari alam khususnya A. bicolor termasuk ikan berlemak rendah dan sedang dengan kadar protein yang tinggi.

Tabel Komposisi kimia beberapa jenis ikan Sidat dewasa dalam 100 gram bahan segar (%)
Jenis/Komponen       Protein             Lemak                 Air                  Abu                 Serat
A. japonica                    16,80              12,40                  69,6                 1,2                       -
A. bicolor                    18,70-20,32     7,23-8,11       67,79-70,73       2,69-3,20       0,73-0,77
A. bicolor pacifica     17,50-21,50     3,30-9,50      71,50-75,90       1,00-1,60              -

Beberapa tahun belakangan ini ditemukan bahwa ikan Sidat mengandung berbagai asam lemak tak jenuh yang tinggi yang tak ada pada hewan lainnya, sehingga dapat merupakan makanan utama yang memenuhi nafsu makan manusia, tanpa perlu kuatir badan akan menjadi gemuk. Tabel atas dan di bawah menunjukkan bahwa komposisi kimia ikan Sidat baik dalam satu jenis maupun jenis yang berbeda kadarnya juga berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya adalah jenis makanan yang tersedia, dengan pemberian protein yang semakin tinggi akan diikuti pula oleh kadar protein daging yang tinggi dan kadar air yang semakin rendah.

Tabel Komposisi asam amino ikan Sidat (A. bicolor) dengan perlakuan pakan (protein) yang berbeda (gram/100 gram protein)

Selain kadar protein yang menentukan komposisi kimia ikan, kadar karbohidrat juga berpengaruh. Pemberian karbohidrat yang tinggi dapat menghasilkan ikan dengan kadar lemak tinggi sesuai hasil penelitian yang telah dilakukan. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa ikan Sidat yang rakus dan bersifat karnivora ternyata dengan pakan yang kaya karbohidrat juga bisa menghasilkan lemak tinggi, tetapi kadar proteinnya relatif rendah. Lemaknya dapat mencapai 25,61%, protein 15,89%, dan kadar air 57,21%.
Berdasarkan jenis pakan yang diberikan sesungguhnya pengguna dapat memilih ikan yang diharapkan, apakah kaya protein atau kaya lemak serta tekstur yang bagaimana. Komposisi kimia ikan ini tidak hanya ditentukan oleh pakan saja, tetapi juga ditentukan oleh fase fisiologis dari ikan tersebut. Namun untuk ikan Sidat belum ada data akurat mengenai perbedaan komposisi yang disebabkan oleh fase fisiologis dari ikan.
Rasa ikan Sidat harum dan enak, disebut sebagai “ginseng air”, fungsinya dalam memperpanjang umur dan melawan kelemahan dan penuaan tak ternilai. Sidat memiliki kandungan nutrisi protein, karbohidrat, serta omega 3 yang tinggi. Sehingga menguatkan fungsi otak dan memperlambat terjadinya kepikunan. Dibanding ikan salmon, Sidat mengandung DHA (Decosahexaenoic acid, zat wajib untuk pertumbuhan anak) sebanyak 1.337 mg/100 gram sementara ikan salmon hanya 748 mg/100 gram. Kandungan EPA (Eicosapentaenoic acid) yang terdapat dalam ikan Sidat sebesar 742 mg/100 gram sementara salmon hanya 492 mg/100 gram. Ikan Sidat mempunyai kandungan asam lemak Omega 3 tinggi, yakni sekitar 10,9 gram per 100 gram. Omega 3 ini dipercaya mampu meningkatkan fungsi mental, memori, dan konsentrasi manusia. Zat yang banyak terdapat dalam lemak Sidat ini juga terbukti mampu mengobati depresi, gejala penyakit kejiwaan atau schizophrenia. Mengkonsumsi ikan Sidat dapat mengatur imunitas tubuh manusia, sebagai anti oksidan, menghilangkan racun tubuh, serta memperlambat penuaan.

Ikan Sidat adalah sejenis ikan yang mempunyai nilai gizi sangat tinggi, kaya akan protein serta vitamin D dan E, serta mempunyai mucoprotein yang kaya, disebut sebagai 'asam amino lemak ganggang' dan 'asam ribonukleat'. Ikan Sidat juga terbukti mengandung vitamin A dengan kadar 100 kali lebih banyak dibandingkan ikan-ikan yang lain. Untuk 100 gram daging Sidat mengandung 5.000 IU vitamin E. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ikan Sidat adalah rajanya ikan untuk kandungan nutrisi yang ada di dalam tubuhnya, ini berdasarkan penelitian kedokteran modern yang menemukan bahwa kandungan vitamin dan mikronutrien dalam ikan Sidat sangat tinggi, di antaranya:
1). vitamin B1, 25 kali lipat susu sapi,
2). vitamin B2, 5 kali lipat susu sapi,
3). vitamin A, 45 kali lipat susu sapi,
4). kandungan zinc (emas otak) 9 kali lipat susu sapi.

Teknologi menemukan bahwa daya hidup ikan Sidat yang ajaib bersumber dari tulang sum-sumnya yang besar dan kuat. Penelitian modern menunjukkan bahwa tulang sum-sum ikan Sidat mengadung beratus-ratus jenis zat bergizi, gizi dan nilai farmakologinya yang istimewa telah mendapat perhatian yang luas dari para pakar.
Sudah banyak terbukti, mengkonsumsi ikan Sidat secara teratur dapat mendorong terbentuknya lemak fosfat dan perkembangan otak besar, bermanfaat untuk meningkatkan daya ingat. Juga memperbaiki sirkulasi kapiler, mempertahankan tekanan darah normal, mengobati pembuluh darah otak. Banyak orang merasakan manfaat mengkonsumsi ikan Sidat untuk penyakit rabun jauh, rabun dekat, glukoma dan penyakit mata kering disebabkan karena mata terlalu lelah. Minyak ikan Sidat dibuat dari ekstrak sumsum ikan Sidat segar, mengandung tiga jenis nutrien penting yaitu: asam lemak omega 3 (DHA & EPA), Phospholipids dan antioksidan Vitamin E.

PROSPEK USAHA
Usaha bisnis Sidat sebenarnya sangat cocok untuk dikembangkan mengingat peluang yang ada saat ini cukup menggembirakan, khususnya masyarakat Jepang yang saat ini merupakan konsumen ikan Sidat terbesar dunia, dimana setiap tahunnya membutuhkan 150 ribu ton dari 250 ribu ton kebutuhan dunia. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, populasi Sidat populer dunia seperti A. japonica, A. anguilla dan A. rostrata mulai menurun drastis karena konsumsi berlebihan, ditambah siklus hidup yang rumit menyebabkan stok benih budidaya ikan ini masih mengandalkan hasil tangkapan alam.

Menurunnya produksi Sidat membuat dunia mulai melirik ke spesies Sidat tropik di Indonesia yang ternyata merupakan pusat Sidat dan memiliki 12 spesies dari 18 spesies yang ada di dunia. Indonesia yang memiliki Sidat dengan jenis yang cukup beragam belum dimanfaatkan secara optimal. Kebanyakan Sidat yang dipasarkan merupakan hasil tangkapan dari alam. Sampai saat ini jumlah pembudidaya Sidat masih sangat terbatas, padahal potensi benih Sidat (glass eel) di Indonesia cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa antara jumlah produksi benih yang dihasilkan dari alam belum sepadan dengan pemanfaatannya untuk pembesaran. Dengan demikian perlu dicermati mengingat kenyataan di lapangan permintaan ekspor terhadap benih Sidat semakin meningkat, misalnya dengan dalih untuk penelitian.

Minggu, 08 Maret 2015

MENGENAL Artemia salina

Artemia salina adalah biota laut yang termasuk kelompok udang-udangan tingkat rendah. Artemia salina pertama kali dijelaskan oleh Carl Linnaeus dalam bukunya Systema Naturae tahun 1758. Hal ini didasarkan pada laporan ahli biologi Jerman bernama Schlosser, yang telah menemukan Artemia di Lymington, Inggris. Populasi itu sekarang sudah punah, meskipun ada spesimen yang dikumpulkan dan dipertahankan dalam museum zoologi di sana.
Klasifikasi untuk spesies udang tingkat rendah ini adalah sebagai berikut:
Fillum     : Arthropoda
Class      : Crustaceae
Subclass : Branchiopoda
Ordo      : Anostraca
Family    : Artemidae
              Grochowski, 1895
Genus    : Artemia
Species  : Artemia spp.
               Leach, 1819

Deskripsi
Jasad renik yang berupa zooplankton (plankton hewani) ini mempunyai ukuran tubuh yang sangat kecil, hanya beberapa millimeter. Tetapi yang dewasa dapat mencapai ukuran 1-2 centimeter dengan berat badan 15 miligram. Pada saat dewasa memiliki tiga mata dan 11 pasang kaki. Darah mereka mengandung pigmen hemoglobin, yang juga ditemukan pada vertebrata. Perbedaan jantan dengan betina dapat dilihat dari antena kedua, pada jantan lebih besar karena berfungsi sebagai organ untuk menggenggam yang digunakan saat kawin/kopulasi.
Artemia jantan memiliki dua organ reproduksi. Sebelum kopulasi jantan “merengkuh” betina dengan organ seperti menggenggam, pada posisi dorsal. “Jari-jari” hanya memegang anterior betina untuk ovisac tersebut. Jantan dan betina bisa berenang dengan posisi bergenggaman bersama-sama selama beberapa hari. Dalam keadaan ini, pergerakan pelengkap renang mengalahkan pasangan secara terkoordinasi. Betina dapat menghasilkan telur baik sebagai akibat dari kawin atau melalui parthenogenesis. Ada dua jenis telur: “telur tipis-dikupas” yang menetas segera dan “telur tebal-dikupas” (kista), yang tetap dapat berada dalam keadaan tidak aktif. Kista ini dapat berlangsung selama beberapa tahun, dan akan menetas ketika mereka ditempatkan dalam air asin. Kista (telur kering) terbentuk ketika tubuh mengalami dehidrasi, makanan langka, dan konsentrasi garam meningkat. Jika betina mati, telur berkembang lebih lanjut. Telur menetas menjadi nauplii yang besarnya sekitar 0,5 mm. Mereka memiliki satu mata tunggal sederhana yang hanya merasakan kehadiran dan arah cahaya. Nauplii Artemia berenang mendekati cahaya, tetapi yang telah dewasa berenang menjauhi cahaya. Kemudian, dua mata lebih mampu mengembangkan tetapi mata awal juga tetap, sehingga mereka seperti makhluk bermata tiga.

Ekologi
Di alam Artemia salina hidup pada perairan dengan kadar garam kurang dari 150 ppt. Laut yang secara alami mempunyai kepadatan biomassa Artemia tinggi adalah Laut Merah (Mesir). Di Yaman (Arab) Artemia salina diberi nama “Bahar el Dud”. Di berbagai kawasan dunia spesies zooplankton ini tidaklah sama. Di Eropa ada Artemia tunissiana, A. franciscana (Amerika), A. monica (California, USA), A. parsimilas (Argentina). Spesies lain yang dikenal adalah Artemia NYOS, A. sinica, A. tibetiana dan A. urmiana.
Di alam, mereka tinggal di perairan (danau, muara/rawa) yang berkadar garam tinggi. Mereka hampir tidak pernah ditemukan di laut terbuka, kemungkinan besar karena kekurangan makanan dan pertahanan tubuh yang reltif lemah. Namun, Artemia telah diamati di Elkhorn Slough, California, yang terhubung ke laut. Tidak seperti hewan air pada umumnya, Artemia berenang terbalik.
Artemia dapat hidup di air yang memiliki kadar garam lebih tinggi atau lebih kecil dari air laut normal. Mereka mentolerir kadar garam sampai 50%, yang hampir seperti larutan jenuh, dan dapat hidup selama beberapa hari dalam kandungan garam/mineral yang sangat berbeda dari air laut, seperti kalium permanganat atau perak nitrat. Sedangkan yodium-a di samping sering dimakan garam ini berbahaya bagi mereka.
Di Great Salt Lake, Amerika Serikat setiap musim semi sebagian besar perairannya bersuhu tinggi. Pada saat-saat seperti itu massa Artemia kista mulai menetas. Larva Artemia yang baru menetas, disebut nauplii mendominasi di perairan sekitar bulan April. Ketika mereka tumbuh dan berkembang, Artemia melalui serangkaian tahapan (14-17 tahap atau fase pertumbuhan). Setiap tahap dipisahkan dari berikutnya melalui proses moulting (ganti kulit). Pergantian kulit ini ditandai dengan bertumbuhnya exoskeleton menjadi lebih besar, kulit/cangkang yang lama berganti dengan yang baru.
Ketika air hangat, makanan berlimpah, dan kadar oksigen tinggi, Artemia dapat berkembang menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Jika kondisi perairan tidak cukup ideal, biasanya dibutuhkan waktu 3-6 pekan untuk mencapai kematangan.
Ketika kondisi baik, betina dewasa mengeluarkan embrio supaya tumbuh berkembang dan jika sudah dalam bentuk nauplii melepaskannya untuk berenang dalam air. Tetapi ketika suhu mulai turun dan makanan jarang, perempuan rilis dorman kista. Di dalam kista, embrio yang dihambat perkembangannya (stunting). Shell sekitarnya melindungi mereka dari unsur-unsur eksternal. Ketika kondisi membaik, embrio tumbuh berkembang dan siklus hidup terus berlangsung secara normal.
Populasi Artemia dapat menghasilkan generasi hingga empat atau lebih per tahun. Kista Artemia telah ditemukan di Great Salt Lake sebagai sampel inti geologi sampai dengan 600.000 tahun. Jadi kita tahu mereka sudah berada untuk waktu yang lama. Kista Artemia dapat tetap layak sampai 25 tahun. Populasi Artemia berkembang dalam jumlah besar di Great Salt Lake di mana hal itu telah menjadi bisnis yang penting secara komersial. Namun, saat ini diyakini bahwa di danau ini telah dihuni oleh spesies Artemia kedua, yakni Artemia franciscana.
Warna kulit/tubuh Artemia dapat terjadi dalam berbagai warna. Dari putih ke merah jambu, hijau, atau warna lain yang mungkin efek diet dan kondisi lingkungan. Warna hewan tergantung pada konsentrasi garam, dengan konsentrasi tinggi memberi mereka penampilan sedikit merah. Di air tawar, Artemia salina mati setelah sekitar satu jam. Ini merupakan makanan yang baik bagi biota perairan terutama untuk ganggang hijau.

Siklus hidup
Selama siklus hidupnya Artemia salina melewati beberapa fase/stadia. Untuk mencapai stadia Nauplius Artemia melampaui 10 substadia kehidupan. Sesudah stadia Larva dan sebelum menginjak dewasa stadia yang harus dilampaui adalah Stadia I sampai VIII. Stadia I-VIII ini berlangsung selama 7 hingga 14 hari.
Untuk berkembang biak Artemia dapat melakukannya baik secara Ovipar (bertelur) maupun secara Ovovivipar (beranak). Pada salinitas atau kadar garam yang mencapai 200-300 ppt Artemia salina berkembang biak dengan cara bertelur. Sedangkan pembiakan secara beranak dapat terjadi apabila habitatnya mempunyai kadar garam kurang dari 200 ppt.
Artemia salina dapat melakukan pembentukan embrio baik melalui perkawinan di antara induk jantan dan betina (Zygogenetic atau Bisexual) maupun tidak melalui perkawinan (Parthenogenetic).
Artemia yang sudah dewasa ditandai dengan adanya “riding couple” (gandengan). Proses pemijahannya dapat digambarkan sebagai berikut. Induk jantan menjepit daerah di sekitar pinggang betina selama 3-5 hari, kemudian terjadi kopulasi (perkawinan). Dalam waktu 1-3 hari induk Artemia akan menghasilkan telur atau langsung berupa anak (Nauplii). Sekali bertelur induk Artemia mampu menghasilkan telur sebanyak 200 butir.

Penggunaan
Ketahanan makhluk ini membuat mereka dijadikan sampel uji yang ideal dalam percobaan. Artemia merupakan salah satu organisme standar untuk menguji toksisitas bahan kimia di laboratorium. Selain itu, telurnya mampu bertahan hidup selama bertahun-tahun. Oleh karena itu adalah mungkin untuk membeli telur dan juga kista Artemia untuk anak-anak, yang mengandung telur, garam, makanan dan alat-alat yang populer di pasaran Amerika dengan nama “Sea-Monkeys”. Anak-anak memiliki kemungkinan untuk mengamati siklus hidup organisme yang menarik ini. Toko-toko aquaris juga menjual kista dan Artemia beku sebagai makanan benih ikan laut dan udang (benur).
Pustaka: berbagai sumber

Sabtu, 07 Maret 2015

RED WATER SYSTEM

Red Water System (RWS) adalah salah satu cara baru dalam kegiatan budidaya ikan lele dengan memanfaatkan bakteri Lactobacillus dan Saccharomyces dalam proses pembesaran benih ikan lele tanpa ganti air kolam hingga panen dengan cara fermentasi yakult, ragi tape dan molasses (tetes tebu).

Seperti diketahui bersama bahwa tumpukan kotoran ikan dan sisa pakan yang mengendap di dasar kolam dapat mengganggu kesehatan ikan. Nah, Red Water System ini memanfaatkan tumpukan kotoran ikan dan sisa pakan yang mengendap di dasar kolam menjadi kebutuhan makanan bagi bakteri Lactobacillus dan Saccharomyces, kotoran-kotoran tersebut akan diserap sebagai pakan utamanya. Saccharomyces memang bukanlah bakteri, tetapi sejenis ragi/yeast yang tujuannya memberikan Lactobacillus dalam memberikan asam organik di dalam kolam yang akan merangsang tumbuhnya bakteri ungu/purple non sulfur.

Kolam Red Water System hanya ideal untuk penebaran benih ikan lele dalam jumlah 300 ekor/m3 (tanpa aerasi) dan 500 ekor/m3 (dengan bantuan aerasi) tanpa perlu ganti air hingga panen. Sistem ini sangat cocok bagi anda yang terlalu sibuk dengan kegiatan lain ataupun yang malas berurusan dengan sedot-menyedot kotoran ikan lele di dasar kolam.

Sebagai catatan, agar tidak terjadi booming kotoran ikan yang tidak terserap semua oleh kedua bakteri tersebut, maka penting untuk menempatkan arang di pinggir-pinggir dinding kolam sebanyak 1 kg/m3 (bukan di bagian dasar kolam) yang berfungsi untuk menyerap sisa kotoran ikan yang tak dimakan oleh bakteri Lactobacillus di dalam air kolam lele.

Proses Aplikasi Red Water System

1. Bahan-Bahan:
a. Air bersih = 18 liter.
b. Yakult = 4 botol.
c. Ragi tape = 2 butir.
d. Molasses (tetes tebu / gula jawa / gula merah) = 1 liter.
e. Air kelapa murni dari 1 butir buah kelapa yang sudah tua.
f. Jerigen 20 liter = 1 unit.

2. Cara Mengolah Bahan:
a. Masukkan air bersih 18 liter ke dalam jerigen bersih.
b.    Tuangkan 4 botol yakult, 1 liter molasses, 2 butir ragi tape (yang sudah di tumbuk halus) dan air kelapa murni ke dalam jerigen yang telah berisi air bersih.
c. Kocok jerigen selama 1-2 menit agar semua bahan-bahan terlarut merata.
d.    Simpan jerigen beserta bahan-bahan tersebut selama 6-7 hari agar terjadi proses fermentasi dengan sempurna yang akan ditandai dengan cairan di dalam jerigen berubah warna menjadi cokelat dan berbau alkohol.

3. Cara Aplikasi Bahan Pada Kolam Ikan Lele:
a. Kolam yang telah berisi air bersih bebas kandungan logam berat beserta benih ikan lele diberi tetesan fermentasi yakult, molasses, ragi dan air kelapa yang sudah jadi di jerigen setiap hari secara merata ke seluruh permukaan kolam. Setiap 1 m3  kolam, ditetesi 100 ml bahan fermentasi tersebut atau setara dengan ½ gelas.
b.    Sisa bahan fermentasi tetap disimpan di dalam jerigen untuk digunakan lagi pada hari-hari berikutnya. Lakukan penetesan bahan fermentasi itu setiap hari dengan jarak waktu 24 jam.
c. Letakkan arang di pinggir-pinggir dinding kolam sebanyak 1 kg/m3 (bukan di bagian dasar kolam) yang berfungsi untuk menyerap sisa kotoran ikan yang tak dimakan oleh bakteri Lactobacillus di dalam air kolam lele.

Akibat penetesan bahan fermentasi di atas setiap hari, maka dari hari ke hari air kolam akan berubah warna perlahan-lahan dari warna hijau, cokelat hingga menjadi warna merah muda.
Jangan panik dengan air menjadi berwarna merah, karena sesungguhnya air kolam seperti itu dalam keadaan sangat sehat bagi ikan dan sangat minim kotoran ikan karena telah di makan oleh bakteri Lactobacillus dan juga diserap oleh arang yang di letakkan di pinggir-pinggir dinding kolam.
Disarankan untuk memasang 2 titik selang aerasi udara yang bertujuan untuk mengaduk bakteri Lactobacillus yang mengendap di dasar kolam agar dapat terus berada merata di semua area kolam.

4. Pemberian Pakan Ikan Lele:
    Pakan (pelet) yang akan diberikan pada ikan lele disarankan untuk direndam dulu dengan air hangat lalu didinginkan dengan cara diangin-anginkan sebelum ditebar ke kolam. Pelet yang kurang lembut sering menjadi penyebab perut ikan kembung dan luka pada usus yang akhirnya menimbulkan kematian pada benih lele.
Kasus perut kembung pada benih lele juga sering terjadi saat peralihan pelet misalnya dari pelet FF 999 menuju ke pelet 781 (-1) dan seterusnya.
Pemberian pakan pada sistem ini tidak diperlukan lagi probiotik, karena hasil fermentasi bahan-bahan Red Water System ini juga adalah probiotik.

Hal-hal yang perlu diperhatikan:
  • Atasi sumber air sumur / sumur bor dari kandungan logam berat seperti, zat besi (Fe), mangan (Mn), tembaga (Cu) dan alumunium (Al) dengan filter karbon aktif, atau dengan penaburan kapur dolomit sebanyak 300 gram/m3 pada seluruh permukaan air kolam (jumlah dolomit disesuaikan dengan luas kolam dan tinggi air yang direncanakan).
  • Penetesan bahan-bahan hasil fermentasi yakult, molases, ragi, dan air kelapa sesuai dosis yang dianjurkan hanya dilakukan hingga air kolam berubah berwarna menjadi merah. Jika air kolam sudah berwarna merah, maka penetesan hasil fermentasi tersebut harus dihentikan.
  • Proses perubahan air kolam menjadi merah saat diberikan tetesan bahan-bahan hasil fermentasi itu adalah diawali dengan perubahan air kolam menjadi warna hijau bila matahari terang terus menyinari air kolam, selanjutnya dari air hijau akan berubah menjadi warna cokelat dan akhirnya air kolam berubah menjadi warna merah. Ketika sudah berwarna merah, penetesan bahan-bahan fermentasi dihentikan.
  • Pada bagian lain, air kolam juga bisa berubah menjadi warna hitam, jika proses penetesan bahan fermentasi pada air kolam tidak memperoleh sinar matahari yang cukup (karena sering hujan/mendung). Maka proses RWS dapat disebut rusak, sebab itu sebelum air kolam menjadi warna hitam, maka segeralah air kolam dibuang 10% dan diganti dengan air yang baru 10% dan dilakukan dalam beberapa hari sambil terus diteteskan bahan-bahan hasil fermentasi tersebut sampai air berubah menjadi merah.
  • Jika suatu hari mencium air kolam merah mulai berbau, maka kurangi pemberian pakan atau dipuasakan sehari yang disertai dengan memberikan kapur dolomit pada air kolam.
Sumber: Ibnu Sahidhir.