Sabtu, 28 Oktober 2017

KOPERASI PERIKANAN

Koperasi merupakan badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya atas dasar prinsip koperasi dan kaedah ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat sekitarnya sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan (Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian).

Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi bagian II tentang Penjenisan Koperasi membedakan koperasi berdasarkan pada golongan dan fungsi ekonomi. Dalam peraturan ini dasar penjenisan koperasi ditekankan pada lapangan usaha dan tempat tinggal para anggota sesuatu koperasi. Pada pasal 3 mengutamakan diadakannya jenis-jenis koperasi sebagai berikut:
1.   Koperasi Desa
2.   Koperasi Pertanian
3.   Koperasi Peternakan
4.   Koperasi Perikanan
5.   Koperasi Kerajinan/Industri
6.   Koperasi Simpanan Pinjam.

Yang dimaksud Koperasi Perikanan ialah koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari pengusaha-pengusaha pemilik alat perikanan, buruh/nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pemasar hasil perikanan yang kepentingan serta mata pencahariannya langsung berhubungan dengan usaha perikanan yang bersangkutan dan menjalankan usaha-usaha yang ada sangkut-pautnya secara langsung dengan usaha perikanan mulai dari produksi, pengolahan sampai pada pembelian atau penjualan bersama hasil-hasil usaha perikanan yang bersangkutan.


SEJARAH
Kehadiran Koperasi Perikanan di Indonesia sebenarnya sudah lama, jauh sebelum kemerdekaan RI. Perkumpulan nelayan yang bekerja dalam bentuk koperasi diawali pada tahun 1912 di Tegal, kemudian berkembang di kresidenan Pekalongan, Cirebon dan Semarang yang secara berurutan sebagai berikut: 
1. Misoyo Mino di Tegal tahun 1912
2. Sari, Sawojajar-Brebes tahun 1916
3. Ngupoyo Mino, Batang tahun 1916
4. Misoyo Sari, Tanjung Sari-Pemalang tahun 1919
5. Mino Soyo, Wonokerto-Pekalongan tahun 1919
6. Sumitra, Indramayu tahun 1919
7. Misaya Mina, Eretan-Indramayu tahun 1927
8. Ngupaya Mina, Dadap-Indramayu tahun 1930
9. Ngupaya Sroyo, Bandengan-Kendal tahun 1932
10. Misoyo Ulam, Semarang tahun 1933 dan
11. Pabelah Bumi Putera, Gebang Ilir-Cirebon tahun 1933 (Soewito.et,al.,2000)

Berbagai Koperasi perikanan (nelayan) tersebut pada awalnya hanya menyelenggarakan jual beli ikan hasil tangkapan melalui pelelangan, kemudian berkembang dengan mengadakan usaha perkreditan untuk biaya penangkapan. Pungutan yanh diperoleh dari hasil lelang dipergunakan untuk ongkos administrasi, dana asuransi kecelakaan di laut, pembelian bahan perikanan, pembuatan perahu dan penolahan ikan secara tradisional (seperti pengasinan, pengeringan dan pemindangan). Dalam masa penduduk Jepang (1942-1945), semua organisasi nelayan itu dijadikan Kopersai Kumiai perikanan. Tugas utamanya adlah mengunpulkan dan menawetkan ikan tuntuk keperluan bala tentara jepang.
Setelah kemerdekaan RI, mulailah diadakan pembenahan organisasi Kopersai perikanan. Pada Kongres Koperasi perikanan Laut ke-1 tanggal 11 April 1947 di Magelang dibentuklah  Gabungan Pusat Koperasi Perikanan Indonesaia (GPKPI) dengan tujuan:
- Meningkatkan taraf hidup nelayan yang layak sebagai warga negara yang merdeka.
- Meningkatkan produksi perikanan laut untuk kepentingan bangsa Indonesia.

Oleh karena GPKPI direstui oleh Departemen Perekonomian maka GPKPI merupakan organisai persatuan koperasi yang pertama dan tertua di tanah air, yang meliputi seluruh wilayah RI. Selanjutnya, GPKPI oleh Departemen Pertanian ditetapkan sebagai satu-satunya organisasi yang mewakili masyarakat nelayan seluruh Indonesia. Keanggotaan GPKPI terdiri dari seluruh Pusat Koperasi Perikanan Laut yang wilayah kerjanya masing-masing mencakup satu karesidenan. Pada masa ini hirarki organisasi GPKPI terdiri dari tiga tingkat, yaitu:
1. Koperasi Peikanan Laut (KPL) primer tingkat kabupaten
2. Pusat Koperasi Perikanan Alut (PKPL) tingkat karesidenan dan
3. GPKPI tingkat nasional. Sehubungan dengan upaya Belnada untuk menjajah kembali Indonesia melalui Agresi I dan II (1946-1948), maka kinerja GPKPI yang sebelumnya baik menjadi menurun drastis.

Pada tahun 1059 setelah Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta, GPKPI mengadakan konsolidasi organisasi. Kemudian, dalam rapat tahunan GPKPI yang juga dihadiri dan mendapat pengarahan dari Bung Hatta (sebagai Bapak Koperaasi Indonoesia) pada tahun 1951 di Semarang, organisasi disederhanakan menjadi dua tingkat saja:
1. Koperasi Perikanan Laut (KPL) Primer
2. Gabungan Koperasi Perikanan Indonesia (GPKI)

Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah NO.60/1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi, organisasi berubah menjadi tiga tingkat lagi. Kemudian dalm Musyawarah Koperasi Perikanan Laut tahun 1962 di Cipanas, berubah menjadi empat tingkat yaitu :
1. Koperasi Perikanan Laut (KPL) tingkat primer
2. Pusat Koperasi Perikanan Laut (PKPL) tingkat Kabupaten
3. Gabungan Koperasi Perikan Laut (GPKL) tingkat Provinsi dan
4. Induk Koperasi Perikanan Indonesia (IKPI) tingkat Nasional

Untuk membina Koperasi perikanan pada tahun 1969 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Direktorat Jendral Koperasi dan Direktorat Jenderal Perikanan yang mengatur bahwa pembinaan manajemen dan organisasi koperasi dilakukan oleh Direktorat Jenderal Koperasi, sementara pembinaan teknis perikanan menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Perikanan. Kemudian, dengan dikeluarkannya Undang-undang No.12/1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian dan kemudian Instruksi Presiden NO.2/1997 tentang Pembentukan Koperasi Unit Desa (KUD), susunan organisai akhirnya berubah menjadi:
1. KUD Mina (tingkat Kecamatan/Kabupaten/Kota)
2. PUSKUD Mina (tingkat Provinsi) dan
3. IKPI (tingkat Nasional)

Dalam perkembangan selanjutnya, usaha budidaya ikan, penangkapan ikan di perairan umum, bersama usaha penangkapan di laut, dimasukkan ke dalam kegiatan usaha KUD Mina. Penambahan kegiatan ini memperlihatkan berkembangnya fungsi KUD Mina yang meliputi: bimbingan dan penyuluhan, peningkatan jumlah anggota pemupukan swadaya anggota nelayan dan petani ikan, dan penyiapan tenaga pendidikan dan latihan bagi nelayan dan petani ikan. Semuanya dalam kesatuan organisai Koperasi nelayan/petani ikan. Namun sayang, pelaksanaannya di lapangan kurang konsisten. Meskipun kinerja sudah bekerja secara optimal seperti yang diharapkan. Kebanyakan koperasi perikanan belum mampu memberi manfaat ekonomi atau kesejahteraan bagi para anggotanya.
 
Jika melihat perkembangan koperasi perikanan di Indonesia, harus diakui saat ini menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Dalam pengertian bahwa sebagai salah satu pilar penopang perekonomian Indonesia, keberadaan koperasi sangat kuat dan mendapat tempat tersendiri di kalangan pengguna jasanya. Koperasi telah membuktikan bahwa dirinya mampu bertahan di tengah gempuran badai krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia.

Di sisi lain banyak ditemukan penyimpangan praktek koperasi dari jati dirinya, berupa:
a.  Salah ‘niat’ hanya untuk memperoleh bantuan semata;
b. Salah ‘paham’ dengan menggunakan badan hukum koperasi untuk kepentingan ‘usaha pribadi’;
c.  Salah ‘urus’ yang mengakibatkan usaha koperasi tidak berkembang, bahkan defisit;
d. Salah ‘bina’ akibat keterbatasan kompetensi dan komitmen dari pembina koperasi.


MASALAH/KENDALA 
Permasalahan yang sering dijumpai dalam pengelolaan koperasi adalah:
1. Pengelolaan yang belum Profesional;
2. Lemahnya Kualitas Sumberdaya manusia;

3. Rendahnya Partisipasi Anggota;
4. Lembaga Keuangan yang belum percaya pada Lembaga Koperasi;
5. Akses Kemitraan dan Jaringan Usaha;
6. Kurangnya teknologi dan kemasan produk; 
7. Pemasaran dan Pangsa Pasar.

Saat ini masalah yang masih di hadapi koperasi dan bisa menghambat perkembangan koperasi di Indonesia menjadi problematik. Pengelolaan koperasi yang kurang efektif, baik dari segi manajemen maupun keuangan menjadi salah satu kendala berkembangnya koperasi. Hal ini disebabkan masih rendahnya tingkat kemampuan SDM yang terlibat dalam lembaga ekonomi tersebut.

Menurut Rokhmin Dahuri mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, kendala dan permasalahan yang menyebabkan kinerja koperasi perikanan pada umumnya rendah adalah:
#  Kualitas Sumberdaya manusia (SDM) pengurus dan pengelola Koperasi perikanan sebagian besar masih rendah.
#  Lemahnya manajemen
#  Kurangnya permodalan
#  Ulah para pengusaha sebagai kompetitor.
#  Kurangnya kesadaran masyarakat perikanan akan arti pentingnya koperasi.
#  Kurangnya keberpihakan pemerintah kepada Koperasi perikanan.

(a). dari sisi kelembagaan
1. Kualitas Sumberdaya manusia (SDM) pengurus dan pengelola Koperasi perikanan sebagian besar masih rendah.
Pada umumnya kualitas Sumber Daya Manusia pengurus dan pengelola koperasi perikanan tidak memiliki kemampuan (pengetahuan dan keterampilan) yang memadai, baik dalam hal manajemen dan organisasi koperasi maupun dalam hal teknis dan bisnis perikanan yang mencakup perikanan tangkap, perikanan budidaya, penanganan dan pengolahan hasil perikanan, serta perdagangan produk perikanan.
Sering kali para pengurus dan pengelola koperasi perikanan juga dilanda penyakit moral, kerja malas, tidak kreatif dan produktif, tetap korupsi. Dengan kondisi kualitas SDM pengurus dan pengelola koperasi perikanan semacam ini, wajar jika banyak koperasi perikanan selalu rugi atau pun berjalan terengah-engah.
Keanggotaan dalam Koperasi perikanan yang kuantitasnya semakin lama semakin berkurang.
Keadaan keanggotaan ditinjau dari segi kuantitas tercermin dari jumlah anggota yang semakin lama semakin berkurang. Masalahnya kenggotaan koperasi yang ada sekarang belum menjangkau bagian terbesar dari masyarakat.

(b). dari sisi usaha
2. Lemahnya manajemen
Pada beberapa koperasi perikanan ada manajer yang kurang mempunyai kemampuan sebagai wirausaha. Di antara mereka bahkan masih ada yang kurang mampu untuk menyusun rencana, program, dan kegiatan usaha. Padahal mereka harus memimpin dan menggerakkan karyawan untuk melaksanakan rencana, program, dan kegiatan usaha yang ditentukan. Penilaian terhadap keadaan serta mengadakan penyesuaian rencana, program, dan kegiatan usaha setiap kali ada perkembangan dalam keadaan yang dihadapainya. Dalam pelaksanaan usaha, koperasi masih belum sepenuhnya mampu mengembangkan kegiatan di berbagai sektor perekonomian karena belum memiliki kemampuan memanfaatkan kesempatan usaha yang tersedia. Belum sepenuhnya tercipta jaringan mata rantai tataniaga yang efektif dan efisien, baik dalam pemasaran hasil produksi anggotanya maupun dalam distribusi bahan kebutuhan pokok  para anggotanya.

3. Kurangnya permodalan
Terbatasnya modal yang tersedia khususnya dalam bentuk kredit dengan persyaratan lunak untuk mengembangkan usaha, terutama yang menyangkut kegiatan usaha yang sesuai dengan kebutuhan anggota, di luar kegiatan program pemerintah. Selain itu koperasi masih belum mampu melaksanakan pemupukan modlal sendiri yang mengakibatkan sangat tergantung pada kredit dari bank walaupun biayanya lebih mahal.

4. Ulah para pengusaha sebagai kompetitor.
Perilaku ingin meraup untung sebesar-besarnya tanpa mengindahkan nasib nelayan para pengusaha menengah-besar dimana koperasi berada juga seringkali mematikan kinerja koperasi perikanan. Dalam prakteknya para“pengusaha nakal” menjual seluruh kebutuhan melaut para nelayan (alat tangkap, BBM, beras, rokok, dll)lebih murah dari yang selama ini disediakan oleh koperasi perikanan. Pada saat yang sama, para pengusahaan pemburu rente ini membeli ikan hasil tangkapan lebih mahal ketimbang yang selama ini dibeli koperasi perikanan.
Praktek semacam ini dilakukan oleh para pengusaha nakal sampai koperasi tidak mampu bersaing dan akhirnya gulung tikar. Setelah koperasi perikanan bangkrut, baru kemudian para lintah darat, tengkulak dan pemburu rente ini mencekik leher para nelayan, dengan cara menaikkan semua bahan kebutuhan melaut lebih mahal ketimbang harga pasar, dan sebaliknya membeli hasil tangkapan nelayan dengan harga yang jauh lebih murah daripada harga pasar.

(c). dari sisi lingkungan
Aspek lingkungan yang terdiri dari kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya, tidak dapat dilepaskan dari proses pengembangan koperasi. Di satu pihak kondisi tersebut dapat memberikan kesempatan, di pihak lain dapat menimbulkan hambatan bagi perkembangan koperasi. Adapun kondisi lingkungan yang dapat diidentifikasikan, sebagai berikut:

5. Kurangnya kesadaran masyarakat perikanan akan arti pentingnya koperasi.
Kurangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya untuk memperbaiki diri, meningkatkan kesejahteraanya, atau mengembangkan diri secara mandiri. Sikap sebagian besar masyarakat di lingkungan masyarakat yang miskin dirasakan masih sulit untuk diajak berusaha bersama, sehingga di lingkungan semacam itu kehidupan berkoperasi masih sukar dikembangkan. Padahal Kesadaran ini adalah pondasi utama bagi pendirian koperasi sebagai motivasi. Namun permasalahan tersebut kemungkinan besar juga disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan citra buruk koperasi itu sendiri. Sebagai organisasi yang membawa unsur pembaruan, koperasi sering membawa nilai-nilai baru yang kadang-kadang kurang sesuai dengan nilai yang dianut oleh masyarakat yang lemah dan miskin terutama yang berada di pedesaan.

6. Kurangnya keberpihakan pemerintah kepada Koperasi perikanan.
Akhirnya, belum optimalnya kinerja sebagian besar koperasi perikanan juga diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang belum memihak kepada koperasi. Sampai sekarang, semua koperasi di Indonesia tidak memiliki akses terhadap asset ekonomi prodktif, terutama permodalan dan informasi. Sementara koperasi sangat sukar memperoleh kredit dari perbankan, pengusaha swasta besar.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada pada koperasi perikanan di Indonesia, pertama sekali sangat di butuhkan campur tangan pemerintah dalam berbagai aspek masalah tersebut.untuk itu diharapkan pemerintah peduli dan ikut menggerakkan serta mengawasi berjalannya koperasi ini ditengah kehidupan masyarakat terutama angota dari koperasi perikanan itu sendiri. misalnya melakukan penyuluhan untuk menimbulkan pemahaman masyarakat tentang manfaat berkoperasi dan pemberian bantuan modal serta pengawasan terhadap pelaksanaan koperasi perikanan tersebut.


Pendekatan Kebijakan Reformasi Koperasi
a.  Rehabilitasi: mengembalikan nama baik dan kepercayaan masyarakat terhadap Koperasi menata kelembagaan dan usaha Koperasi berdasarkan data yang tervalidasi secara rinci per individu koperasi (by name, by address) dan sekaligus mengurangi/menekan jumlah koperasi yang tidak aktif.
a.  Reorientasi: mengubah pola pikir pembinaan dari kuantitas ke kualitas, baik terhadap pembina, pengurus dan anggota koperasi, maupun masyarakat dalam mengembangkan kelembagaan dan usaha koperasi tetap berpegang teguh pada nilai dan prinsip koperasi.
Pengembangan: mengembangkan skala usaha mencapai skala usaha yang lebih besar dan serta mampu meningkatkan skala usaha skala usaha anggotanya pada berbagai bidang usaha strategis untuk mengurangi ketimpangan sosial, serta handal dalam dipentas nasional dan global.
Pustaka: --koperasiperikanan.blogspot.com, --khansadhiyasavira.wordpress.com