Kamis, 17 Mei 2018

IPAL

Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) merupakan kewajiban yang sebentar lagi menjadi keniscayaan dalam kegiatan usaha pemeliharaan udang di tambak terutama pada pola maju/intensif. Sampai saat ini belum semua petambak mau membangun IPAL, dengan alasan biaya yang tinggi atau faktor lainnya.

Tujuan membangun instalasi limbah adalah demi keberlangsungan usaha dan minimalisasi pencemaran lingkungan, agar usaha ini berjalan lama dan tidak digerogoti penyakit. Hal itu karena usaha tidak benar jika mencemari lingkungan karena yang pada awalnya bersih.

Makanya, ketika memulai budidaya udang sistem intensif bahkan superintensif di suatu kawasan tersebut, sudah harus merencanakan membangun instalasi limbah. Hal ini bias dilakukan secara sederhana dan murah dengan mengadopsi instalasi yang dimiliki pabrik minuman ringan atau lainnya. Di samping biaya pembuatannya tidak mahal, juga lahan yang dibutuhkan tidak perlu luas.


Aplikasi IPAL

Setidak-tidaknya merogoh kocek hingga sebesar Rp 28 juta untuk sekali panen guna mengangkat dan membuang limbah padat dari kotoran tambak yang menumpuk di kolam penampungan. Lalu limbah cair yang mengalir ke laut masih kotor karena pengendapannya belum sempurna, terutama saat panen.

Kandungan zat-zat organiknya juga diperkirakan masih tinggi yang tentunya menaikan TOM  (Total Organic Matter/bahan organik total) air laut. Karena itu mau tidak mau ia harus membangun instalasi pengolahan air limbah agar hasilnya lebih baik.

Instalasi limbah yang dibangun terdiri dari kolam penampungan tanah dan 4 kolam pengendapan yang dindingnya dicor beton, masing-masing berukuran 4 kali 6 meter dengan ketinggian 1,2 meter. Keempat kolam pengendapan ini dilapisi ijuk setebal 7 cm yang diikatkan di ujung pipa paralon yang mengalirkan air menuju saluran pembuangan di bagian depan kolam. Lalu lapisan kerikil setebal 10 cm di semua area kolam penampungan. Di atasnya lagi dilapisi dengan pasir setebal 20 cm.

Pada bagian bawah setiap kolam dibuat pipa pengeluaran yang dialirkan ke saluran pembuangan. Lalu keempat kolam pengendapan dilapisi dengan atap plastik transparan guna mempercepat pengeringan limbah melalui sinar matahari dan jika hujan limbah yang sudah kering tidak kembali basah menjadi kehujanan.

Limbah padat yang sudah mengendap di kolam penampungan disedot dengan pompa untuk dialirkan ke kolam pengendapan. Secara berangsur-angsur limbah cair meresap ke bagian bawah kolam pengendapan lalu mengalir melalui pipa menuju saluran di depan bagian bawah. Limbah padat setengah kering yang mengedap di kolam pengendapan diangkat, lalu dikeringkan lagi.

Selanjutnya limbah padat ini dimasukan ke dalam karung dan diberikan gratis ke masyarakat sekitar untuk dijadikan pupuk. Berdasarkan ujicoba yang dilakukan para pembudidaya di pantai timur lampung, limbah padat kering ini sangat cocok untuk ditaburkan ke tanaman sawit, kelapa dan semangka. “Buah semangka yang dipupuk dengan limbah tambak, selain ukuran buahnya jauh lebih besar dibandingkan dipupuk kimia juga rasanya lebih manis,” ungkap Soleman, petambak udang asal Kaur, Bengkulu.

Kini yang dibangun baru instalasi berupa kolam-kolam pengendapan limbah cair sehingga air yang keluar dari instalasi sudah jernih seperti air di inlet. Selanjutnya bisa direncanakan air yang keluar dari instalasi untuk disalurkan ke kolam-kolam lanjutan di mana di dalamnya ditanam rumput laut, karang, dan ikan-ikan laut.  
Tujuannya zat-zat organik yang masih mengalir bersama limbah cair bisa dikonsumsi rumput laut, dan ikan serta mengendap di karang. Dengan begitu kandungan zat-zat organik dalam air yang masuk ke laut benar-benar di bawah ambang batas. Jika air laut tetap bersih maka sistem budidaya terbuka bisa dipertahankan sehingga bisa menekan biaya. Saat ini biaya listrik masih tinggi karena pembudidaya umumnya menggunakan genset.

Petak penampungan/pengendapan limbah udang vaname
pola busmetik di Dampyak, Tegal
 IPAL dengan Bakteri

Mengomentari model instalasi limbah tambak ala industri yang dikembangkan Soleman, praktisi pengolahan limbah cair Supratikno menilai, model tersebut sudah baik. “Ini jelas merupakan langkah maju dan terobosan dalam budidaya udang di Lampung dan Bengkulu. Hanya untuk mempercepat dan menyempurnakan penguraian zat-zat organik di dalam lumpur yang keluar dari tambak bisa ditambahkan bakteri,” ia menyarankan.

Kalau di industri, hampir di semua instalasi pengolahan limbahnya sudah menggunakan bakteri. Jika aplikasi bakteri ini juga diadopsi di instalasi limbah tambak, tentu penguraiannya zat-zat organiknya akan lebih cepat dan sempurna. Apalagi jika saat panen udang tentu volume limbah cair dan lumpur yang dikeluarkan dari kolam sangat besar. Di sinilah perlunya aplikasi bakteri agar proses penguraian zat-zat organik tidak perlu waktu lama melalui pengendapan dan penggunaan rumput laut, karang dan ikan. 

Bakteri ini diaplikasikan di kolam penampungan sehingga ketika lumpur di kolam ini disedot ke kolam pengendapan, zat-zat organiknya sudah terurai. Bahkan bakteri-bakteri yang sudah terurai ini akan meningkatkan mutu limbah padat yang bakal dijadikan pupuk organik nantinya.

Lalu, dengan aplikasi bakteri maka limbah dari pakan akan lebih cepat jernih dan kandungan zat-zat organik airnya akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak menggunakan bakteri. Mengenai tambahan biaya pengadaan bakteri, Tikno menambahkan, tidak seberapa. Bahkan biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan kolam-kolam lanjutan untuk memelihara ikan dan rumput laut jauh lebih besar. Apalagi kolam-kolam lanjutan ini tentu memakan lahan yang lebih luas.

edited from: TROBOS Aqua Edisi-61/15 Juni – 14 Juli 2017

Rabu, 02 Mei 2018

RUMAH GARAM


Secara umum ada dua cara untuk menghasilkan garam. Cara yang pertama adalah dengan proses penguapan air yang mengandung garam tinggi, baik dari laut maupun danau. Cara kedua adalah dengan melakukan penambangan garam yang tersimpan di bawah permu­kaan tanah.

Di beberapa negara terdapat area di bawah permukaan tanah yang berukuran besar dan memiliki ketebalan beberapa meter garam yang disebut salt bed atau kasur garam. Negara seperti Amerika Serikat, Pakistan, Jerman, Spanyol, Belanda, Iran memiliki gua-­gua garam yang dapat dimanfaatkan untuk eksplo­rasi garam. Indonesia memiliki tambang garam dengan deposit yang tergolong besar di dunia, yakni di Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sayangnya belum ada investor yang menggarap potensi tersebut.

Berdasarkan data produksi ga­ram, Amerika Serikat menduduki posisi pertama dengan pasokan hingga 46,5 juta ton (22%) dari produksi garam seluruh dunia sekitar 220 juta ton. Selanjutnya Tiongkok 17%, India 7%, Kanada 6,7 %, Australia 5,3%. Sedangkan Indone­sia berada di posisi 32 dunia, yakni 0,5 % dari total pasokan garam dunia. Negara penghasil garam terbesar memiliki kelebihan sistem pengola­han garam, terutama berada pada tahap akhir sistem pengolahannya.

Mereka memilih lokasi tambak garamnya di kawasan dengan kelembaban udara di bawah 70% dan sum­ber air laut yang bersih. Berlainan dengan kondisi lingkungan tambak garam di Indonesia yang mana air lautnya semakin kotor karena pencemaran. Begitu pula tanah un­tuk produksi garam banyak yang bermasalah.

Di luar negeri, proses evaporasi atau penguapan garam lebih sem­purna karena perjalanan air laut dari sejak titik masuk (intake) hingga panen kristal garam bisa berjalan selama 9-­12 bulan. Sedangkan di In­donesia hanya berlangsung selama 4-­5 bulan.

Modernisasi dan transformasi teknologi garam nasional telah dilakukan dengan cara menerapkan Teknologi Ulir Filter (TUF) Ge­omembran. Mekanisme TUF Ge­omembran adalah sistem produksi garam dengan cara air laut dialirkan ke dalam kolam penampungan terle­bih dahulu, dilakukan filterisasi se­belum masuk ke dalam meja kristal. Batok kelapa dan batu zeolit diguna­kan sebagai filter yang bersifat kar­bon aktif, yaitu bisa menghilangkan bau dan memberi efek warna garam putih alami.

Dengan teknologi TUF Geomem­bran produktivitas bisa meningkat. Perbandingannya, produksi garam dengan menggunakan cara tradi­sional hanya bisa menghasilkan 60­-80 ton garam per hektar selama musim panen, namun dengan teknik di atas, panen garam bisa mencapai 120­-140 ton per hektar. Selain itu, proses pengkristalan garam dengan menggunakan TUF Geomembran juga jauh lebih cepat, yaitu hanya 14 hari dibanding cara tradisional yang butuh waktu 30 hari.

Saat ini sudah seharusnya dilakukan moder­nisasi usaha garam rakyat dengan inovasi teknologi. Salah satunya adalah pembuatan garam dalam rumah garam. Rumah garam ini terbuat dari bahan bambu dan plastik biasa. Teknologi ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari teknik TUF Geomembran dengan berbagai perubahan/rekayasa perlakuan.
Dalam proses membuat garam dengan cara rumah garam, petani garam terlebih dahulu mengumpulkan air laut untuk selanjutnya disimpan dalam tandon atau banker.
Air laut yang disimpan hingga tua di dalam bunker, sambungnya, bisa sewaktu-waktu digunakan atau diproses menjadi garam dengan disalurkan ke 15 petak tambak garam di lahan seluas 1 hektar.
Caranya, di musim panas kita perbanyak air tua, sehingga bisa produksi sepanjang musim, jadi harus ada bunker 1.000 meter per segi. air tua yang dikumpulkan kalau dijadikan garam bisa mencapai 100 ton.
Dengan inovasi ini, bisa diproduksi garam sebanyak 400 ton per hektar dalam setahun karena tidak lagi tergantung pada cuaca.



Gbr. 1. Rumah Garam berbentuk terowongan (tunel)
Rumah garam merupakan istilah teknis dalam proses pembuatan garam di tambak.
Bentuknya dapat berupa terowongan (tunel) seperti tampak dalam gambar (1) maupun prisma segi empat (gambar 2).

Gbr. 2. Rumah Garam berbentuk Prisma segi empat










Beberapa kelebihan atau keuntungan system rumah garam dibandingkan dengan cara-cara lainnya adalah seperti tercantum dalam tabel berikut.



No.
Tradisional
Geoisolator
Prisma/Tunel
1
Pembentukan kristal garam sangat lama
Pembentukan kristal garam agak cepat
Pembentukan kristal garam lebih cepat karena sinar matahari lebih fokus
2
Kualitas garam yang dihasilkan tergolong KW 3
Kualitas garam yang dihasilkan tergolong KW 1 dan KW 2
Kualitas garam yang dihasilkan tergolong KW 1 dan kualitas industri
3
Memerlukan waktu 30 hari untuk pembentukan lantai dasar garam
Memerlukan waktu selama 15 hari untuk pembentukan lantai dasar garam
Memerlukan waktu 12 hari untuk pembentukan lantai dasar garam
4
Waktu pembuatan garam
Tahap I   : 30 hari
Tahap II  : 15 hari
Tahap III : 10 hari, dst.
Waktu pembuatan garam
Tahap I   : 30 hari
Tahap II  : 15 hari
Tahap III : 10 hari, dst.
Waktu pembuatan garam
Tahap I   : 15 hari
Tahap II  : 12 hari, dst.
5
Produktivitas lahan 60-70 ton/ha per musim setiap tahun selama 100 hari
Produktivitas lahan 120-130 ton/ha per musim setiap tahun selama 100 hari
Produktivitas lahan 450 ton/ha per musim sepanjang tahun selama 360 hari
6
Lebih rumit dalam proses produksi
Kemudahan dalam proses produksi
Mampu mengatur produksi garam sepanjang tahun
7
Sulit dalam pemanenan
Mudah dalam pemanenan
Mudah dalam pemanenan
8
Warna garam kusam, putih kecokelatan
Warna garam putih kapur
Warna garam putih mengkilat
9
Kadar NaCl disesuaikan dengan permintaan pasar (umumnya kurang dari 90%)
Kadar NaCl disesuaikan dengan permintaan pasar (umumnya lebih dari 90%)
Kadar NaCl disesuaikan dengan permintaan pasar (dapat mencapai lebih dari 94%)


Pustaka: id.beritasatu.com