Jumat, 24 Juni 2016

GRACILARIA, RUMPUT LAUT

Rumput laut (seaweed) secara biologi termasuk salah satu anggota alga yang merupakan tumbuhan berklorofil. Secara garis besar, rumput laut dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) jenis berdasarkan pigmen (zat warna) yang dikandungnya, yaitu: Chlorophyceae (ganggang hijau), Rhodopyceae (ganggang merah), Phaeopyceae (ganggang coklat), dan Cyanophyceae (ganggang biru). Jenis-jenis rumput laut yang bernilai ekonomis penting sebagai penghasil agar-agar (Agarophyta) dari kelompok Rhodophyceae (ganggang merah) antara lain adalah Acanthaopia, Glacillaria, Gelidium dan Pterrocclaidia.
Ganggang merah ditandai oleh sifat-sifat sebagai berikut:
  • Dalam reproduksinya tidak mempunyai stadia gamet berbulu cambuk.
  • Reproduksi seksual dengan karpogonia dan spermatia.
  • Pertumbuhan bersifat uniaksial (satu sel di ujung thallus) dan multiaksial (banyak sel di ujung thallus).
  • Alat pelekat (holdfast) terdiri dari perakaran sel tunggal atau sel banyak.
  • Mempunyai pigmen fikobilin yang terdiri dari fikoeretrin (berwarna merah) dan fikosianin (berwarna biru).
  • Bersifat adaptasi kromatik, yaitu mempunyai penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan dan dapat menimbulkan berbagai warna “thalli” seperti : pirang, violet, merah tua, merah muda, coklat, kuning, dan hijau.
  • Mempunyai persediaan makanan berupa kanji (floridean starch).
  • Dalam dinding selnya terdapat selulosa, agar, karagenan, porpiran, dan furselaran.
Rumput laut gracilaria umumnya mengandung agar, ager atau disebut juga agar-agar sebagai hasil metabolisme primernya. Agar-agar diperoleh dengan melakukan ekstraksi rumput laut pada suasana asam setelah diberi perlakuan basa serta diproduksi dan dipasarkan dalam berbagai bentuk, yaitu: agar-agar tepung, agar-agar kertas dan agar-agar batangan dan diolah menjadi berbagai bentuk penganan (kue), seperti pudding dan jeli atau dijadikan bahan tambahan dalam industri farmasi. Kandungan serat agar-agar relatif tinggi, karena itu dikonsumsi pula sebagai makanan diet. Melalui proses tertentu agar-agar diproduksi pula untuk kegunaan di laboratorium sebagai media kultur bakteri atau kultur jaringan.
Dalam kehidupan sehari-hari, agar-agar dimanfaatkan sebagai bahan makanan seperti puding, jely (makanan ringan) dan sebagainya. Sedangkan dalam industri, agar-agar digunakan sebagai bahan tambahan pada pabrik pengalengan makanan, farmasi, kosmetik, cat tekstil dan Iain-lain.
 Sejak berabad lalu, nenek moyang kita telah memanfaatkan gracilaria sebagai makanan. Baik dimasak dengan air kelapa atau dengan air santan dan gula, rumput laut juga dapat dibuat penganan, dimasak oseng-oseng atau tumis. Di beberapa daerah pesisir di wilayah nusantara ini, gracilaria diyakini dapat dimakan sebagai pencegah GAKI. Hal ini semakin jelas dari beberapa hasil penelitian, ternyata beberapa jenis gracilaria banyak mengandung iodium.
Rumput laut memiliki kandungan karbohidrat, protein, sedikit lemak  dan abu, yang mana  sebagian besar merupakan  senyawa garam  dan kalori. Bila dibandingkan dengan tanaman dan sayuran darat, kandungan protein pada rumput laut lebih tinggi. Selain itu mengandung vitamin-vitamin seperti A, B1, B2, B6,  B12, dan  C,  beta karotin  serta mineral penting seperti  besi, iodin, aluminum, mangan, calsium, nitrogen dapat larut, phosphor, sulfur, chlor. silicon, rubidium, strontium, barium, titanium, cobalt, boron, copper, kalium, dan unsur-unsur lainnya), asam nukleat, asam amino, protein, mineral, trace elements, tepung, dan gula. Komposisi kimiawi (%) dari beberapa jenis rumput laut dapat dilihat pada tabel berikut.

Jenis
Rumput Laut
Karbo-hidrat
Protein
Lemak
Air
Abu
Serat Kasar
Echeuma cottonii
57,52
3,46
0,93
14,96
16,05
7,08
Gracilaria sp.
41,68
6,59
0,68
9,73
32,76
8,92
Sargassum sp.
19,06
5,53
0,74
11,71
34,57
28,39
Turbinaria sp.
44,90
4,79
1,66
9,38
33,54
16,38

TAKSONOMI
Divisi    : Rhodophyta
Kelas   : Rhodophyceae
Ordo    : Gigartinales
Famili   : Gracilariaceae
Genus  : Glacilaria
Jenis    : Glacilaria sp.

Rumput laut untuk bahan membuat agar adalah rumput laut yang termasuk pada kelas alga merah (Rhodophyta). Rumput laut marga gracilaria banyak jenisnya, masing-masing memiliki sifat-sifat morfologi dan anatomi yang berbeda serta dengan nama ilmiah yang berbeda pula, seperti: G. confervoides, G. gigas, G. verucosa, G. lichenoides, G. crasa, G. blodgettii, G. arcuata, G. taenioides, G. eucheumoides, dan banyak lagi. Beberapa ahli menduga bahwa rumput laut marga gracilaria memiliki jenis yang paling banyak dibandingkan dengan marga lainnya.

Gracilaria merupakan rumput laut yang banyak terdapat di perairan laut Indonesia. Masyarakat pesisir mengenal Gracilaria dengan berbagai nama lokal/sebutan, antara lain:
- Janggut Dayung (Bangka)
- Agar-agar Karang (Indonesia)
- Sango-sango, Dongi-dongi (Sulawesi)
- Bulung Embulung (Jawa, Bali)
- Bulung Sangu (Bali)
- Bulung Tombong Putih (Labuhanhaji, Lombok)
- Lotu-Lotu Putih (Ambon)
- Agar-agar Jahe
- Rambu Kasang.

Gb 1. Rumput Laut jenis Gracilaria sp.
MORFOLOGI

Ciri umum dari Gracilaria sp. adalah mempunyai bentuk thallus silindris atau gepeng dengan percabangan mulai dari yang sederhana sampai pada yang rumit dan rimbun, di atas percabangan umumnya bentuk thalli (kerangka tubuh tanaman) agak mengecil, permukaannya halus atau berbintil-bintil, diameter thallus berkisar antara 0,5-2 mm. Panjang dapat mencapai 30 cm atau lebih dan Glacilaria tumbuh di rataan terumbu karang dengan air jernih dan arus cukup dengan salinitas ideal berkisar 20-28 ppm.
Seperti pada alga kelas lainnya, morfologi rumput laut gracilaria tidak memiliki perbedaan antara akar, batang dan daun. Tanaman ini berbentuk batang yang disebut dengan thallus (jamak: thalli) dengan berbagai bentuk percabangannya. Secara alami gracilaria hidup dengan melekatkan (sifat benthic) thallusnya pada substrat yang berbentuk pasir, lumpur, karang, kulit kerang, karang mati, batu maupun kayu, pada kedalaman sampai sekitar 10 sampai 15 meter di bawah permukaan air yang mengandung garam laut pada konsentrasi sekitar 12-30o/oo. Sifat-sifat oseanografi, seperti sifat kimia-fisika air dan substrat, macamnya substrat serta dinamika/pergerakan air, merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan pertumbuhan Glacilaria.
Untuk melekatkan dirinya, Gracilaria memiliki suatu alat cengkeram berbentuk cakram yang dikenal dengan sebutan 'hold fast'. Jika dilihat secara sepintas, tumbuhan ini berbentuk rumpun, dengan tipe percabangan tidak teratur, 'dichotomous', 'alternate', 'pinnate', ataupun bentuk-bentuk percabangan yang lain.

Tabel 1. Panjang thallus Gracilaria
Thallus pada umumnya berbentuk silindris atau agak memipih, namun pada G. eucheunoides dan G. textoni bentuk thallus kedua tumbuhan tersebut benar-benar gepeng. Ujung-ujung thallus umumnya meruncing, permukaan thallus halus atau berbintil-bintil. Keadaan permukaan thallus yang berbintil, umumnya ditemukan pada tumbuhan dalam bentuk karposporofit (mengandung). Panjang thallus sangat bervariasi, mulai dari 3,4 - 8 cm pada G. eucheumoides, dan dapat mencapai lebih dari 60 cm pada G. verrucosa. Variasi panjang thallus Gracilaria disarikan dalam tabel 1.

DAUR HIDUP

Di alam kita dapat menemukan Gracilaria dalam 3 bentuk pertumbuhan. Secara morfologi memang ketiga bentuk pertumbuhan tadi sangat sulit dibedakan, namun jika dilihat dari segi anatomi maka dapat dibedakan:
(a) bentuk sporofit adalah tumbuhan yang memiliki kromosom diploid (2n),
(b) bentuk gametofit adalah bentuk tumbuhan haploid (1n),
(c) bentuk karposporofit adalah bentuk tumbuhan haplodiploid (sedang mengandung).
Umumnya, karposporofit dapat dibedakan dari sporofit dan gametofit, karena pada permukaan thallus sering dijumpai tonjolan-tonjolan bulat.

Perkembangbiakan gracilaria pada garis besarnya melalui dua cara, yaitu:
1. Tidak kawin (Aseksual)
a.  Vegetasi, yaitu dengan cara penyetekan;
b.  Konyugasi, yaitu dengan cara peleburan dinding sel sehingga terjadi pencampuran protoplasma dari dua atau lebih thalli;
c.  Penyebaran Spora yang terdapat pada kantung spora (carpospora, cystocarp).
2. Kawin (Seksual)
Perkawinan antara gamet-gamet yang dihasilkan dari gametofit yang merupakan hasil germinasi dari spora.

Seperti umumnya Rhodophyceae, daur hidup Gracilaria bersifat 'trifasik' (3 bentuk pertumbuhan), yang mengalami pergantian generasi antara seksual dan aseksual. Apabila awal perkembangbiakan dimulai dari generasi aseksual maka akan terlihat bahwa sporofit akan membentuk suatu badan yang disebut dengan tetrasporangia. Adapun bentuk dan ukuran tetrasporangia pada masing-masing jenis sangat bervariasi (Tabel 2).

Tabel 2. Bentuk dan Ukuran Tetrasporangia
Selanjutnya, tetrasporangia akan menghasilkan tetraspora (Gambar 2). Tetraspora akan membelah menjadi 4 bagian, pembelahan mula-mula terjadi secara vertikal, disusul dengan pembelahan secara horizontal. Tetraspora yang telah membelah tadi akan tumbuh menjadi gametofit jantan dan gametofit betina yang masing-masing berupa tanaman 1n. Selanjutnya gametofit jantan akan membentuk sori spermatangia, yaitu suatu badan yang akan memproduksi spermatia. Sedangkan pada gametofit betina akan dibentuk suatu badan yang disebut dengan cabang-cabang carpogonia, yang akan memproduksi sel telur.


Gb 2. Daur Hidup Rumput Laut Gracilaria

Fertilisasi terjadi secara pasif, yaitu apabila spermatia yang dikeluarkan oleh gametofit jantan dapat masuk ke dalam cabang carpogonium dan bertemu dengan sel telur. Setelah fertilisasi terjadi persatuan antara inti spermatia dan inti sel garnet betina (kariogami) sehingga terbentuk zygot (karpospora). Selanjutnya karpospora berkembang di dalam thallus gametofit betina yang kini berubah namanya menjadi karposporofit. Sel-sel lapisan luar dari karposporofit membentuk suatu badan berupa tonjolan-tonjolan tempat berkembangnya karpospora. Tonjolan-tonjolan ini disebut sistokarp atau gonimoblast, dapat terlihat jelas oleh mata. Sistokarp akan mengalami proses pematangan, yaitu dengan pertambahan besar. Pada Gracilaria verrucosa sistokarp muda berdiameter 250-300 mm, sedangkan yang telah masak diameternya berkisar antara 450-500 mm. Setelah sistokarp atau gonimoblast masak, karpospora akan dikeluarkan. Jika spora tersebut menempel pada suatu substrat maka akan tumbuh menjadi tanaman diploid (sporofit).

Penelitian lain yang mengungkapkan daur hidup Gracilaria verrucosa di dalam laboratorium telah dilakukan dengan cara memasukkan spora-spora G. verrucosa ke dalam erlenmeyer yang berisi larutan SWM-3. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa tanaman betina tidak dapat membentuk cabang-cabang carpogonia tanpa adanya tanaman jantan.  

SIFAT-SIFAT HIDUP

Untuk tumbuh dan berkembang, Gracilaria membutuhkan cahaya, karbondioksida, oksigen serta nutrisi. Cahaya dibutuhkan untuk proses fotosintesa, yaitu karbondioksida akan diubah menjadi karbohidrat (senyawa organik). Sebaliknya, oksigen dibutuhkan untuk respirasi atau merombak senyawa yang mempunyai molekul besar menjadi senyawa-senyawa dengan molekul yang lebih kecil dan energi.
Pengambilan nutrisi dilakukan Gracilaria melalui proses difusi. Dalam proses pengambilan nutrisi, Gracilaria dapat menyerap serta mengakumulasikan unsur-unsur yang ada di sekitarnya dengan baik. Pada konsentrasi merkuri 0,005 ppm dalam air laut ternyata setelah 2 bulan kemudian diperoleh 0,20 ppm merkuri dalam Gracilaria, namun keadaan ini tidak mempengaruhi pertumbuhannya.
Sebagai organisme hidup Gracilaria memiliki kemampuan beradaptasi terhadap faktor-faktor lingkungan seperti ; suhu, salinitas, cahaya dan pH.  

a. Cahaya
Kemampuan adaptasi Gracilaria terhadap cahaya sangat baik. Cahaya yang masuk ke dalam perairan baik dalam jumlah banyak atau sedikit dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhannya. G. verrucosa dan G. foliifera memiliki toleransi yang tinggi terhadap cahaya yang berlebihan, keduanya dapat tumbuh pesat pada kedalaman 5 cm. Sedangkan G. verrucosa tumbuh di perairan yang keruh. Sinar kuning (580-630 nm) memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan G. verrucosa.
Pertumbuhan Gracilaria sp akan semakin baik apabila perairan tidak keruh karena kekeruhan akan menutupi tanaman sehingga profes fotosintesa terganggu. Sebagaimana diketahui bahwa penetrasi sinar matahari ke dalam air yang keruh akan sangat cepat menurun dibandingkan dengan perairan jernih. Ini akan berakibat daya produksi Gracilaria sp akan semakin menurun pada kondisi perairan yang semakin keruh karena terganggunya proses fotosintesa. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas maka tingkat sedimentasi di perairan tambak udang perlu dikaji sehingga dapat diketahui sampai sejauh mana pengaruh tingkat sedimentasi terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan Gracilaria sp
b. Suhu
Selain beradaptasi terhadap cahaya, Gracilaria juga memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap suhu. Kemampuan ini sangatlah bervariasi tergantung kepada tempat di mana tumbuhan tersebut hidup. Gracilaria yang hidup di Atlantik Utara dapat bertahan pada suhu 7°C di musim dingin dan 30°C di musim panas. Demikian pula di Norwegia, tumbuhan ini dapat hidup pada suhu 3°C di musim dingin, dan 14-18°C di musim panas. Akan tetapi pertumbuhan alga ini akan terhambat apabila suhu air di bawah 8°C. Untuk budidaya Gracilaria temperatur optimum yang diperlukan adalah 20-25°C. Sedangkan di Indonesia, salah satu persyaratan untuk membudidayakan Gracilaria, suhu air sebaiknya berkisar antara 20-28°C.  
c. Salinitas dan pH
Tabel 3. Ketahanan Gracilaria terhadap salinitas
Demikian pula kemampuan adaptasi Gracilaria terhadap salinitas juga sangat tinggi. Alga ini dapat hidup pada kisaran salinitas 5-43 permil. Ketahanan enam jenis Gracilaria terhadap salinitas dapat dilihat dalam daftar di bawah (Tabel 3). Secara umum untuk budidaya Gracilaria kisaran salinitas yang baik adalah 15-20 permil serta kisaran pH antara 6-9 dengan pH optimum 8,2-8,7. Untuk usaha budidaya Gracilaria di Indonesia, kisaran salinitas adalah 18-32 permil dengan salinitas optimum adalah 25 permil, sedangkan pH berkisar antara 8-8,5.

HABITAT DAN SEBARAN

Gracilaria umumnya hidup sebagai fitobentos, melekat dengan bantuan cakram pelekat (hold fast) pada substrat padat. Terdiri dari kurang lebih 100 spesies yang menyebar luas dari perairan tropis sampai subtropis. Hal ini menyebabkan beberapa penulis menyebutnya sebagai spesies yang kosmopolit.
Gracilaria hidup di daerah litoral dan sub litoral, sampai kedalaman tertentu, yang masih dapat dicapai oleh penetrasi cahaya matahari. Beberapa jenis hidup di perairan keruh, dekat muara sungai.

Di Indonesia terdapat lebih kurang 15 jenis Gracilaria yang menyebar di seluruh kepulauan. Di Bangka, Gracilaria convervoides hidup melekat di atas batu karang pada kedalaman 2-5 meter. Di Lombok, G. gigas ditemukan di perairan payau. Daerah sebaran Gracilaria di Indonesia meliputi : Kepulauan Riau, Bangka, Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Pulau Bawean, Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Maluku. 

Sumber: oseanografi.lipi.go.id (Oseana Vol XV/4, 1990); djpb.kkp.go.id; kenshuseidesu.tripod.com; download.portalgaruda.org; ekonomi.kompasiana.com; rumputlautgracilaria.blogspot.com; pacificraya.wordpress.com

Selasa, 14 Juni 2016

SAMPLING UDANG BUDIDAYA

Sampling udang merupakan kegiatan yang mutlak diperlukan dalam suatu kegiatan usaha budidaya di tambak. Hal ini perlu menjadi perhatian, mengingat bahwa salah satu karakteristik usaha budidaya udang adalah bersifat ‘unvisible object’, yang berarti segala tingkah laku, kondisi dan pertumbuhan udang di dalam petakan tambak tidak dapat diamati secara langsung karena terhalang oleh perairan yang menjadi habitatnya.
Berdasarkan karakteristik seperti inilah salah satu alternatif kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengestimasi profil udang di dalam tambak adalah dengan melalui kegiatan sampling.

Sampling udang secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan pengambilan beberapa sampel (contoh) udang pada satu populasi dalam suatu periode waktu tertentu. Mengacu pada pengertian tersebut di atas maka disarankan sebaiknya kegiatan sampling dilakukan secara berkala dari udang usia benur sampai udang usia dewasa dan saat menjelang panen.
 

TUJUAN
Tujuan sampling pada kegiatan budidaya udang secara umum antara lain untuk mengetahui:
1.    Kondisi udang yang terkait dengan kualitas udang. Pada saat dilakukan sampling dapat dilakukan pengamatan secara langsung terhadap kualitas udang yang menjadi sampel pengamatan. Hasil dari pengamatan dari beberapa kondisi udang dari kegiatan sampling dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan dalam pemberian perlakuan/treatment terkait dengan teknis budidaya. Pada kondisi tertentu/khusus yaitu pada saat udang terkena masalah dengan kategori berat kegiatan sampling dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan yang mengarah pada pemanenan.
2.   Tingkat keseragaman udang, yaitu tingkat variasi/keragamanan ukuran dan berat udang dalam suatu populasi pada umur yang relatif sama pada satu periode waktu tertentu. Tingkat keseragaman udang pada suatu populasi dikatakan relatif bagus jika ukuran dan berat udangnya relatif sama (seragam), sebaliknya jika dalam suatu populasi udang memiliki ukuran dan berat yang bermacam-macam/bervariasi maka tingkat keseragaman udang dapat dikatakan relatif jelek. Tingkat keseragaman udang dalam suatu usaha budidaya udang akan sangat berpengaruh pada penyusunan program pakan terkait dengan jenis, ukuran dan berat pakan yang diberikan secara harian.
3.   Survival Rate (SR), yaitu tingkat kehidupan udang di tambak pada periode waktu tertentu dibandingkan dengan populasi awal. Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui nilai SR adalah dengan menghitung rata-rata jumlah udang yang tertangkap dalam luasan jala tertentu yang dikalikan dengan luas petakan tambak dibandingkan dengan luasan jala yang digunakan.
4.  Average Body Weigth (ABW),yaitu berat rata-rata udang dalam suatu populasi udang pada saat periode tertentu. ABW diperoleh dengan jalan menghitung berat total dari udang dibagi jumlah udang yang tertangkap di dalam jala.
5.  Biomass udang, yaitu jumlah berat total dari suatu populasi pada periode waktu tertentu dan biasanya dinyatakan dalam satuan berat. Biomass udang dapat diestimasikan melalui perkalian antara SR dengan jumlah populasi awal dikalikan dengan ABW udang pada saat tertentu.
6.   Size udang. Size udang dapat diartikan sebagai ukuran udang berdasarkan jumlah udang yang terdapat dalam 1 kg berat udang, atau dapat diformulasikan sebagai: Size udang = 1000 gr/ABW (gr). Sebagai contoh: ABW udang = 25 gr, maka size = 1000/25 = 40.
7.   Kondisi dasar tambak. Dalam kegiatan sampling terutama yang dilakukan dengan menggunakan jala, salah satu aspek yang dapat diamati selain yang terkait dengan kualitas udang adalah aspek kondisi dasar tambak. Badan jala pada saat digunakan/dilempar ke dalam tambak akan segera turun ke dasar tambak sehingga pada saat ditarik kembali selain udang jala tersebut juga akan membawa benda-benda termasuk kotoran yang berada di dasar perairan. Pengamatan yang perlu di cermati adalah adanya lumpur hitam dan bangkai udang dalam kondisi di luar batas kewajaran.
8.   Keberadaan dan tingkat populasi predator/kompetitor di dalam tambak. Pada saat sampling dengan menggunakan jala dapat diperkirakan jenis dan tingkat kepadatan predator/kompetitor yang hidup berdampingan dengan udang di dalam satu petakan tambak.
Sebagai catatan: item nomor (2) dan nomor (4) di atas masih nilai estimasi yang bersifat kasar karena bagaimanapun juga kegiatan budidaya dengan udang sebagai obyeknya relatif memiliki karakteristik yang tidak dapat dianggap sebagai obyek yang statis dan menyebar rata di dasar tambak.

Mengacu pada beberapa tujuan sampling udang tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa hasil dari kegiatan sampling diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam hal:
1.    Pengambilan keputusan terkait dengan teknis budidaya sesuai dengan kondisi/kualitas udang serta kondisi dasar tambak pada saat itu.
2.    Estimasi/penyesuaian kebutuhan pakan udang sesuai tingkat kebutuhan udang pada saat itu.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa kegiatan sampling udang sebaiknya dilakukan secara berkala dari udang usia benur sampai udang usia dewasa dan saat menjelang panen. Jangka waktu antar kegiatan sampling dalam satu periode budidaya udang dalam penerapannya di lapangan dapat dikatakan bervariasi tergantung dari kebiasaan, misalnya 10 harian, 20 harian atau satu bulan sekali yang terutama adalah sifatnya yang berkala dan teratur.

Selain sampling berkala dan teratur, dalam kondisi tertentu dapat dilakukan sampling yang bersifat insidental yang disebabkan adanya udang terindikasi terkena suatu masalah, sehingga perlu pengamatan secara langsung terhadap kualitas udang di dalam tambak tersebut sebagai upaya mengestimasi tingkat keberlanjutan satu siklus budidaya pada tambak tersebut. Khusus untuk indikasi masalah yang ditandai dengan adanya kematian massal udang di dasar tambak, maka dengan melakukan sampling jala dapat diperkirakan tingkat keparahan masalah tersebut. Jika kematian udang sudah menyebar di dasar tambak maka dapat diindikasikan permasalahan tersebut sudah pada tingkat sangat parah dan pengambilan keputusannya sebaiknya mengarah pada pemanenan. Sampling yang bersifat insidental juga biasa dilakukan pada saat menjelang panen normal terutama untuk memberikan data/informasi kepada para calon pembeli tentang size dan kualitas udang yang dihasilkan, sehingga dapat dilakukan kesepakatan tentang harga/nilai jual udang tersebut.

Ada beberapa dasar pemikiran yang perlu diperhatikan sebelum melakukan sampling, antara lain:
1.    Kegiatan sampling sebaiknya dilakukan pada saat sinar matahari tidak terlalu terik atau dengan kata lain dalam suasana teduh (pagi/sore hari, atau tempat yang terlindung dari sinar matahari yang terik. Kondisi tersebut bertujuan menghindari penurunan kualitas udang karena terkena sinar matahari pada saat sampling, meskipun udang yang diambil sebagai sampel jumlahnya tidak terlalu besar.
2.    Kegiatan sampling sebaiknya dilakukan pada saat kondisi udang secara umum normal dan tidak dalam kondisi moulting (ganti kulit), karena udang dalam keadaan moulting relatif lemah dan rentan terhadap “guncangan” di lingkungannya.
3.    Kegiatan sampling sebaiknya dilakukan sekitar 2–3 jam setelah pemberian pakan sehingga pengambilan sampel udang akan lebih efektif karena udang masih menyebar di sekitar daerah pakan sehingga masih dalam jangkauan jala sampling. Sedangkan untuk sampling anco, kisaran waktu tersebut merupakan saat-saat udang mulai “menyerbu” anco untuk mengkonsumsi pakan yang ada di anco.
4.    Kegiatan sampling sebaiknya dilakukan tidak dalam kondisi sirkulasi air dan dianjurkan pengoperasian kincir seminimal mungkin, sehingga bukaan jala tidak terganggu oleh arus air yang ditimbulkannya.

Khusus untuk sampling yang bersifat insidental, terutama pada tambak dengan udang-udang terindikasi terkena masalah/penyakit maka dapat dilakukan sesegera mungkin tanpa perlu memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, hal ini bertujuan untuk dapat mendeteksi dan mengambil keputusan terkait dengan treatment budidaya maupun ke arah pemanenan.

JENIS-JENIS SAMPLING

Berdasarkan alat yang digunakan maka kegiatan udang dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
1.    Sampling Benur. Kegiatan sampling ini biasanya dilakukan pada saat pengadaan bentur di lokasi pembenihan/hatchery dan pada saat akan memulai tebar benur. Tujuan dari sampling benur ini lebih mengarah pada estimasi jumlah/populasi benur, serta kondisi/kualitas benur yang akan ditebar. Kegiatan sampling ini dilakukan secara penghitungan manual dan pengamatan visual yang cermat, sehingga pada saat dilakukan tebar dapat diketahui berapa tingkat kepadatan (populasi) dan kondisi/kualitas benur dalam satu petakan tambak.
2.    Sampling Anco. Kegiatan sampling ini dilakukan dengan menggunakan alat bantu anco sebagai alat pengambilan contoh udang. Sampling anco biasanya dilakukan untuk udang-udang yang relatif masih berukuran kecil. Catatan: Anco di dalam kegiatan budidaya tambak udang merupakan alat yang digunakan untuk mengontrol program pakan dan pertumbuhan serta kualitas udang secara harian/insidental. Anco biasanya berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 1 m x 1m dengan kerangka dari kayu/besi dan bagian tengahnya dikaitkan dengan streameen (sejenis kasa terbuat dari nilon) yang diberi beban/pemberat agar dapat mencapai dasar tambak.
3.    Sampling Jala. Kegiatan sampling ini dilakukan dengan menggunakan alat bantu jala sebagai alat pengambilan contoh udang. Sampling jala biasanya dilakukan untuk udang-udang berukuran relatif besar (>2,5 gr ) sehingga dapat terjerat dalam mata jala yang digunakan. Jala yang biasa digunakan berukuran diameter 6 m, panjang 3-4 m dengan ukuran mata jala yang bervariasi tergantung lokasi dan pembuatnya (mata jala disesuaikan dengan ukuran udang yang menjadi target sampling). Meskipun alat yang digunakan berbeda tetapi tujuan yang hendak dicapai relatif hampir sama yaitu mengetahui kondisi/kualitas udang dan perairan seperti telah diuraikan dalam penjelasan tersebut di atas. 

 A. SAMPLING BENUR

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa tujuan dari sampling benur ini lebih mengarah pada estimasi jumlah/populasi benur, serta kondisi/kualitas benur yang akan ditebar.

Bahan/Peralatan

1.  Wadah air/tempat sampling (semacam baskom / ember) yang terdiri dari dua macam yaitu satu untuk wadah benur yang akan disampling dan satu untuk meletakkan benur yang telah disampling. Wadah yang digunakan sebaiknya berwarna terang sehingga pada saat benur ditempatkan di wadah tersebut akan terlihat kontras dan tidak mengganggu pengamatan kondisi maupun penghitungan populasi benur.
2.  Alat bantu hitung yang berupa kalkulator dan alat bantu lainnya. Kalkulator diperlukan untuk menghitung jumlah total benur yang telah dihitung, sedangkan alat bantu hitung lainnya berfungsi sebagai untuk menandai kelipatan penghitungan. Sebagai catatan: sehubungan penghitungan jumlah benur dilakukan secara manual dan satu persatu, maka untuk memudahkan dalam mengingat jumlah yang telah dihitung biasanya setiap kelipatan angka tertentu akan ditandai dengan menggunakan alat bantu hitung lainnya (yang biasa digunakan adalah lidi/batang korek api atau tergantung kebiasaan yang digunakan).
3.  Alat tulis yang digunakan untuk mendokumentasikan hasil penghitungan jumlah benur dan pengamatan kondisi benur. 

Tahapan Kegiatan Sampling Benur
Sampling benur dapat dilakukan pada saat pengadaan benur di lokasi pembenihan/hatchery dan pada saat akan memulai tebar benur tapi secara prinsip tahapan yang perlu dilakukan pada saat sampling benur antara lain meliputi:
1.  Lakukan pengamatan kondisi/kualitas benur secara general dengan menggunakan pengamatan visual. Jika benur ditempatkan pada kantong-kantong plastik, maka pengamatan dapat dilakukan dengan cara mengangkat dan menerawang kantong plastik tersebut ke arah sumber cahaya, sehingga kondisi/kualitas benur dapat diamati secara lebih jelas.
2.  Ambil beberapa sampel kantong plastik wadah benur yang akan digunakan dalam kegiatan sampling.
3.  Pindahkan benur-benur yang di dalam kantong plastik beserta airnya ke dalam wadah yang telah disiapkan secara perlahan-lahan dan diamkan untuk beberapa saat.
4.  Lakukan pengamatan secara visual terhadap kondisi/kualitas benur dan kemudian lanjutkan dengan uji kualitas benur di dalam wadah tersebut. Pengujian kualitas benur dapat dilakukan secara praktis dan sederhana, yaitu dengan cara:
(i)    Memberikan pusaran air di dalam wadah air tempat benur-benur berada, hal ini untuk mengetahui tingkat keaktifan dan arah renang benur,
(ii)   Memberikan kejutan di dalam air dengan menggunakan jari tangan, hal ini untuk mengetahui tingkat reaksi benur terhadap rangsang gerak yang diberikan,
(iii) Meletakkan jari tangan beberapa saat di dalam wadah air, hal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat reaksi benur terhadap rangsang penciuman dan rangsang pakan.
5.  Mulailah menghitung jumlah benur secara manual dengan menggunakan alat semacam sendok ukuran sedang/besar. Sebagai upaya memudahkan dalam mengingat jumlah yang telah dihitung, sebaiknya setiap kelipatan angka tertentu diberi tanda dengan menggunakan alat bantu yang telah disiapkan.
6.  Siapkan wadah yang telah berisi air (sebaiknya air dari kantong yang sama, sehingga tidak menimbulkan guncangan terhadap kondisi benur yang disebabkan oleh perbedaan kondisi air secara mendadak) sebagai tempat untuk benur yang telah di hitung dan diamati kondisinya.
7.  Setelah proses menghitung jumlah benur selesai dilakukan, lakukan penghitungan terhadap jumlah total benur yang ada dalam satu kantong plastik. Jika sampling benur dilakukan di lokasi pembenihan/hatchery, maka benur-benur yang telah disampling lalu dikembalikan dalam kondisi seperti semula.
8.  Sedangkan jika sampling dilakukan di lokasi tambak, maka benur-benur dalam wadah yang telah disampling beserta benur lain yang masih berada di dalam kantong plastik segera ditempatkan pada lahan tebar untuk menjalani proses aklimatisasi.
Catatan: tahapan/proses sampling tebar benur seperti tersebut di atas merupakan proses yang umum dilakukan di beberapa lokasi/daerah tambak udang. Bagaimanapun juga proses sampling benur dapat berbeda tergantung dari kebiasaan teknisi/praktisi tambak yang mengelolanya.

B. SAMPLING ANCO
 
Bahan/Peralatan

1.  Anco yang merupakan salah satu peralatan yang sudah tersedia di dalam satu petakan tambak. Ditinjau berdasarkan peralatan sampling, maka anco berfungsi sebagai alat untuk pengambilan sampel udang.

2.  Wadah (ember plastik) yang telah diisi air sebagai tempat mengumpulkan udang dari beberapa anco yang akan disampling.

3.  Wadah berukuran kecil (gayung/ember kecil) sebagai tempat udang yang akan diamati kondisinya dan diukur berat rata-ratanya.

4.  Timbangan duduk dengan kapasitas 1 kg, sebagai alat untuk mengukur berat rata-rata udang.

5.  Kalkulator yang diperlukan untuk menghitung berat rata-rata udang.

6.  Alat tulis yang digunakan untuk mendokumentasikan hasil penghitungan jumlah benur dan penghitungan berat rata-rata udang serta hasil pengamatan lainnya. 

Tahapan Kegiatan Sampling Anco
1.    Siapkan semua peralatan yang diperlukan seperti tersebut di atas dan pastikan bahwa semua anco yang ada telah berada di dasar tambak agar proses kegiatan sampling yang akan dilakukan dapat berjalan dengan lancar.
2.    Angkat anco dari dasar tambak secara perlahan-lahan agar udang yang ada di dalamnya tidak berloncatan keluar dari anco (hal ini dimaksudkan agar jumlah udang yang dapat diambil dalam jumlah yang maksimal sehingga diharapkan dapat mewakili kondisi dan populasi yang ada di dalam tambak tersebut).
3.    Ambil semua udang yang ada di dalam anco tersebut dan tempatkan pada wadah (ember) yang telah diisi air, lanjutkan proses ini pada anco lainnya yang ada dalam satu petakan tambak dan kumpulkan pada wadah tersebut.
4.    Setelah proses pengambilan udang dari anco telah selesai, maka kumpulkan udang-udang tersebut dalam wadah kecil untuk mengukur berat total dari sampel udang.
5.    Letakkan wadah kecil yang telah berisi sampel udang pada timbangan duduk (pastikan timbangan tersebut dalam kondisi normal/bagus).
6.    Ukur dan catat berat total sampel udang di dalam wadah berdasarkan penunjuk yang ada di dalam timbangan duduk.
7.    Ukur berat wadah tempat sampel udang dalam keadaan kosong untuk mengetahui berat total sampel udang yang sebenarnya dengan cara berat hasil item (6) di atas dikurangi berat item (7). Contoh: jika item (6) beratnya = 500 gr , dan item (7) beratnya = 250 gr, maka berat total sampel udang sebenarnya = 500 gr – 250 gr = 250 gr.
8.    Hitung jumlah total udang di dalam wadah tersebut sambil dilakukan pengamatan kondisi/kualitas udang. Jika ditemui udang yang terindikasi suatu masalah maka catat masalah tersebut sebagai bahan pengambilan keputusan terkait dengan teknis budidaya atau aspek lainnya. Udang-udang yang telah dihitung dan diamati agar secepatnya dikembalikan ke dalam perairan tambak untuk menghindari terjadinya penurunan kualitas udang sampel.
9.    Hitung berat rata-rata udang (Average Body Weight/ABW) hasil sampling dengan rumus : berat total udang dibagi jumlah total udang. Contoh: jika berat total udang = 250 gr, jumlah total udang 100 ekor maka ABW = 250 gr : 100 ekor = 2,5 gr/ekor.
10.  Catat hasil penghitungan dan pengamatan sebagai bahan acuan dalam proses pengambilan keputusan.
Catatan:· 
Proses kegiatan sampling anco sebaiknya dilakukan sekitar 2,5–3 jam setelah pemberian pakan agar jumlah udang yang diambil dapat maksimal.
Kegiatan sampling anco sebaiknya dilakukan secara cepat guna menghindari penurunan kualitas udang sampel.

C. SAMPLING JALA

Kegiatan sampling ini biasanya dilakukan untuk udang berukuran relatif besar (2.5 gr) sehingga dapat terjerat dalam mata jala yang digunakan. Selain digunakan untuk sampling yang bersifat regular, jala juga digunakan untuk sampling yang bersifat insidental. 

Bahan/Peralatan
1.  Jala berukuran diameter 6 m, panjang 3–4 m dengan ukuran mata jala yang bervariasi tergantung lokasi dan pembuatnya (mata jala disesuaikan dengan ukuran udang yang menjadi target sampling). Ditinjau berdasarkan peralatan sampling, maka jala berfungsi sebagai alat untuk pengambilan sampel udang.
2.  Wadah (ember plastik) yang telah diisi air sebagai tempat udang hasil jalaan yang akan disampling.
3.  Timbangan duduk dengan kapasitas 6 kg atau timbangan gantung, sebagai alat untuk mengukur berat rata-rata udang.
4.  Kalkulator yang diperlukan untuk menghitung berat rata-rata udang.
5.  Alat tulis yang digunakan untuk mendokumentasikan hasil penghitungan jumlah udang dan penghitungan berat rata-rata udang serta hasil pengamatan lainnya.

Tahapan Kegiatan Sampling Jala
1.    Siapkan semua peralatan yang diperlukan seperti tersebut di atas agar proses kegiatan sampling yang akan dilakukan dapat berjalan dengan lancer.
2.    Tentukan satu titik lokasi sebagai tempat untuk menebarkan jala (dalam satu kegiatan sampling jala biasanya ada beberapa titik lokasi untuk mendapatkan hasil yang diharapkan dapat mewakili populasi udang dalam satu petakan tambak.
3.    Tebarkan jala dengan relatif sempurna, yaitu jala dapat mengembangkan dengan maksimal pada saat ditebarkan dan tunggu beberapa saat agar jala dapat mencapai dasar tambak.
4.    Angkat jala dan masukkan badan jala beserta hasil tangkapannya ke dalam wadah (ember plastik) yang telah berisi air. Pada saat mengangkat jala hal yang perlu diamati adalah profil kotoran yang ikut terbawa sebagai indikator kondisi dasar tambak.
5.    Lepaskan udang dari mata jala pada wadah itu juga secara hati-hati agar tidak terjadi kerusakan fisik udang hasil jalaan tersebut yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas udang.
6.    Pisahkan dengan biota air lainnya yang ikut terbawa pada jala tersebut. Biota perairan ini dapat menjadi indikator tingkat kepadatan dan jenis kompetitor/predator udang di dalam tambak.
7.    Setelah proses pelepasan udang dari mata jala selesai maka Letakkan wadah kecil yang telah berisi sampel udang pada timbangan duduk/timbangan gantung (pastikan timbangan tersebut dalam kondisi normal/bagus).
8.    Ukur dan catat berat total sampel udang di dalam wadah berdasarkan penunjuk yang ada di dalam timbangan duduk/gantung.
9.    Ukur berat wadah tempat sampel udang dalam keadaan berisi air untuk mengetahui berat total sampel udang yang sebenarnya dengan cara berat hasil item (8) di atas dikurangi berat item (9). Contoh: jika item (8) beratnya = 3,5 kg , dan item (9) beratnya = 1,5 kg, maka berat total sampel udang sebenarnya = 3,5 kg – 1,5 kg = 2,0 kg.
10.  Hitung jumlah total udang di dalam wadah tersebut sambil dilakukan pengamatan kondisi/kualitas udang. Jika ditemui udang yang terindikasi suatu masalah maka catat masalah tersebut sebagai bahan pengambilan keputusan terkait dengan teknis budidaya atau aspek lainnya. Udang-udang yang telah dihitung dan diamati agar secepatnya dikembalikan ke dalam perairan tambak untuk menghindari terjadinya penurunan kualitas udang sampel.
11.  Hitung berat rata-rata udang (Average Body Weight/ABW) hasil sampling dengan rumus: berat total udang dibagi jumlah total udang. Contoh: jika berat total udang = 2000 gr (2,0 kg), jumlah total udang 200 ekor maka ABW = 2000 gr : 200 ekor = 10 gr/ekor.
12.  Ulangi proses tersebut di atas untuk beberapa titik lokasi dalam satu petakan tambak.
13.  Catat hasil penghitungan dan pengamatan sebagai bahan acuan dalam proses pengambilan keputusan.
Catatan :
·   Proses penebaran jala ke dalam perairan tambak sebaiknya dilakukan oleh orang yang sudah terampil/mahir dalam melakukannya sehingga kegiatan sampling dapat berjalan efektif dan efisien.
·   Proses kegiatan sampling jala sebaiknya dilakukan sekitar 2,5 – 3 jam setelah pemberian pakan sehingga pengambilan sampel udang akan lebih efektif karena udang masih menyebar di sekitar daerah pakan sehingga masih dalam jangkauan jala sampling.
·   Kegiatan sampling sebaiknya dilakukan tidak dalam kondisi sirkulasi air dan dianjurkan pengoperasian kincir seminimal mungkin, sehingga bukaan jala tidak terganggu oleh arus air yang ditimbulkannya.
·   Kegiatan sampling jala sebaiknya dilakukan secara cepat guna menghindari penurunan kualitas udang sampel. 

Contoh perhitungan sampling menggunakan jala tebar
Di ketahui:
- Luasan tambak                           = 1000 m2
- Jumlah tebar                               = 100.000 ekor (atau 100 ekor/meter2)
- Luas jala                                      = 3 meter (rumus luas lingkaran µr²)
- Rata-rata bukan jala                   = rata 75%
- Rata-rata di tiap titik sampling    = 210 ekor
- Berat rata-rata                            =  3 gr/ekor
- Dosis pakan                                = 4%
Perhitungan:
1. Mencari rata-rata luasan tebaran jala:
= Rata-rata bukaan jala x Luas jala
= 0.75 x 3 m
= 2.25 m2
2. Menghitung rata-rata padat tebar per meter:
= Rata-rata jumlah udang yang tertangkap di tiap titik sampling / bukaan jala (m)
= 210 ekor / 2.25 m²
= 93 ekor/ m²
3. Menghitung Populasi
= Rata-rata per meter x luas tambak
= 93 ekor/ m² x 1000 m²
= 93.000 ekor
4. Menghitung Survival Rate
= Populasi/ jumlah tebar x 100 %
= 93.000 ekor / 100.000 ekor x 100 %
= 93 %
5. Menghitung Biomassa
= Rata-rata berat udang x Populasi sekarang
= 3 gram x 93.000 ekor
= 279.000 gram
= 279 kg

Rujukan: marindro-ina.blogspot.com; safiiperikananpati.blogspot.com