Jumat, 22 Mei 2015

SILVOFISHERY (WANAMINA)

Menurut pakar lingkungan, ekosistem mangrove harus dikelola berdasarkan pada paradigma ekologi yang meliputi prinsip-prinsip interdependensi antar unsur ekosistem, sifat siklus dari proses ekologis, fleksibilitas, diversitas dan koevolusi dari organisme beserta lingkungannya dalam suatu unit fisik DAS dan merupakan bagian integral dari program PWPLT (Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu). Alternatif pemanfaatan daerah pesisir yang bersifat multiple-use dimana mangrove sebagai salah satu unsur ekosistemnya. Pakar lain menyatakan bahwa budidaya sistem silvofishery di dalam area hutan mangrove memungkinkan adanya budidaya perikanan tanpa perlu mengkonversi area mangrove. Dengan alternatif pengelolaan seperti ini diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi hutan mangrove, tanpa mengancam fungsi ekologisnya.

Gb. Pengembangan Silvofishery (wanamina)
Komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya di air payau kawasan mangrove adalah kepiting bakau (Scylla serrata), ikan bandeng (Chanos chanos), udang windu (Penaeus monodon), udang vanamei (Penaeus vannamei), ikan patin (Pangasius pangasius), ikan kakap (Lates calcarifer), kerang hijau atau rumput laut. Kepiting bakau mempunyai karakteristik yang sedikit berbeda dengan komoditas lainnya karena kemampuannya untuk bertahan hidup dalam kondisi kurang air. Oleh karena itu membudidayakan kepiting tidak memerlukan tambak yang luas.

Penanaman bibit mangrove dalam sistem wanamina yaitu dengan membuat tambak atau kolam dan saluran air untuk budidaya ikan seperti ikan bandeng, udang, dan lain-lain. Dengan demikian terdapat perpaduan antara tanaman mangrove (wana) dan budidaya sumberdaya ikan (mina). Ada banyak cara dalam memanfaatkan mangrove secara lestari, di antaranya ada lima bentuk utama, yaitu:
(a) tambak tumpang sari, dengan mengkombinasikan tambak dengan penanaman mangrove;
(b) hutan rakyat, dengan pengelolaan yang berkelanjutan dengan siklus tebang 15-30 tahun atau tergantung dari tujuan penanaman;
(c) budaya memanfaatkan mangrove untuk mendapatkan hasil hutan selain kayu berhasil memanfaatkan buah dan daun mangrove sebagai bahan baku beragam makanan kecil dan minuman sirup karena berdasarkan penelitian laboratorium, buah mangrove mengandung gizi seperti karbohidrat, energi, lemak, protein dan air;
(d) silvofishery (wanamina); dan
(e) bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove yang simultan.

Pengelolaan budidaya ikan/udang di tambak melalui konsep silvofishery, disamping sangat efisien juga mampu menghasilkan produktivitas yang cukup baik dengan hasil produk yang terjamin keamanannya karena merupakan produk organik (non-cemical). Bukan hanya itu konsep ini juga mampu mengintegrasikan potensi yang ada sehingga menghasilkan multiple cash flow atau bisnis turunan antara lain adalah bisnis wisata alam (eco-taurism business) yang sangat prospektif, pengembangan UMKM pengolahan produk makanan dari buah mangrove, disamping bisnis turunan lainnya. Jenis komoditas perikanan yang dapat dikembangkan dalam silvofishery antara lain: kakap, kerapu, bandeng atau baronang, jenis Crustase (udang, kepiting bakau dan rajungan), kekerangan (kerang hijau, kerang darah atau kerang bakau).

Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan, udang atau usaha kepiting lunak, dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan silvofishery, yaitu:
1. Konstruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang akar-akar mangrove dari pohon mangrove yang ditanam di sepanjang pematang tambak dan pematang akan nyaman dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk tanaman mangrove
2. Hasil penelitian ahli perikanan pada tahun 1979 menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara luas kawasan mangrove dengan poduksi perikanan budidaya, dimana semakin meningkatnya luasan mangrove maka produksi perikanan budidaya juga turut meningkat.
3. Salah satu nilai ekologis dari ekosistem mangrove telah digunakan sebagai pengolah limbah cair sejak 1990, percobaan lapangan dan eksperimen rumah hijau telah diujikan efek dari penggunaan ekosistem mangrove untuk mengolah limbah. Hasil uji lapang di Negara Tiongkok membuktikan bahwa bertambahnya konsentrasi polutan di lahan mangrove tidak menyebabkan terdeteksinya kerusakan pada tanaman mengrove, invertebrata bentik, atau spesies alga.
4. Peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat petani ikan.
5. Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber air tawar dapat dipertahankan
6. Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat karbondioksida dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari kecenderungan naiknya muka air laut.
7. Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air pasang, sehingga kegiatan berusaha dan lokasi pemukiman di sekitarnya dapat diselamatkan

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif tanpa menghilangkan fungsi ekonomis areal mangrove sebagai lahan budidaya perikanan dapat dilakukan melalui budidaya sistem polikultur dan wanamina. Sistem polikultur adalah sistem budidaya ikan yang dipelihara lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah. Sistem ini berguna untuk efisiensi penggunaan pakan alami yang ada di kolam. Sedangkan, silvofishery adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini kemungkinan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan.
Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisir. Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1978. Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpang sari pada hutan jati, dimana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman palawija, dengan jangka waktu 3-5 tahun masa kontrak.

Pada awalnya empang parit ini hanya berupa parit selebar 4 meter yang disisihkan dari tepi areal kegiatan reboisasi hutan mangrove, sehingga keluasannya mencapai 10-15% dari total area garapan. Jarak tanam 3 m x 2 m, dengan harapan 4-5 tahun pada akhir kontrak, tajuk tanaman sudah saling menutup. Sejak tahun 1990 dibuat sistem pola terpisah (komplangan) dengan 20% areal untuk budidaya ikan dan 80% areal untuk hutan dengan pasang surut bebas.

Dari sistem silvofishery semacam ini dengan pemeliharaan bandeng dan udang liar dapat dihasilkan keuntungan sebesar Rp 5.122.000,-/ha/tahun untuk 2 kali panen setiap tahun (Perum Perhutani, 1995). Dalam riset yang dilakukan tahun 1996 para peneliti membandingkan pola silvofishery di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pola komplangan menunjukkan perbandingan relatif lebih baik daripada pola empang parit, baik dalam hal produktivitas perairan maupun pertumbuhan mutlak, kelangsungan hidup maupun biomassa bandeng yang dipelihara pada masing-masing pola. Selisih pertumbuhan mutlaknya hanya 9,6 g, sedangkan biomassanya 7,1 kg/m3. Hasil ini berbeda dengan penelitian lain pada tahun 2000 yang mengemukakan bahwa justru pola empang parit menghasilkan bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata-rata 1 kg lebih berat dibandingkan dengan pola komplangan. Namun demikian, kedua sistem ini turut membantu dalam meningkatkan income petani petambak.

Wanamina merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Di Banyuasin, Sumatera Selatan didominasi oleh hutan mangrove, dan cukup ideal untuk kehidupan berbagai komoditas perikanan. Sehingga kawasan hutan mangrove di Banyuasin sangat cocok dikelola dengan sistem wanamina. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang kritis. Penerapan kegiatan wanamina di kawasan ekosistem hutan mangrove secara umum diharapkan dapat mencegah perusakan kawasan tersebut oleh masyarakat karena akan memberikan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat di kawasan tersebut.

Sedangkan untuk perambah hutan, dapat disediakan lapangan kerja sebagai pedagang dengan menjadikan kawasan wanamina sebagai kawasan wisata. Dengan demikian, kawasan wanamina dapat berfungsi ganda yaitu menjaga dan memelihara ekosistem serta menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa daun-daun mangrove yang telah gugur, yang jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan fungi, yang sekaligus berfungsi membantu proses pembusukan daun menjadi detritus. Detritus akan digunakan oleh pemakan detritus seperti amphipoda, mysidaceae, dan lain-lain. Pemakan detritus akan dimakan oleh larva-larva, ikan, kepiting, udang dan lain-lain. Dengan kata lain, detritus organik akan merupakan sumber energi yang esensial bagi sebagian besar hewan estuaria.

Selain itu nilai pakan lain yang penting dari ekosistem adalah berbagai organisme akuatik yang beberapa diantaranya memiliki nilai komersial memilih habitat mangrove sebagai tempat hidupnya. Tiga puluh persen produksi perikanan laut tergantung pada kelestarian hutan mangrove, karena kawasan mangrove menjadi tempat perkembangbiakan jenis-jenis ikan yang tinggi nilai komersilnya. Daun-daun berjatuhan dan berakumulasi pada sedimen mangrove sebagai leaf litter (lapisan sisa-sisa daun) yang mendukung komunitas organisme detrial yang besar jumlahnya. Tanaman mangrove, termasuk bagian batang, akar dan daun yang berjatuhan memberikan habitat bagi spesies akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Ekosistem ini berfungsi sebagai tempat untuk memelihara larva, tempat bertelur dan tempat pakan bagi berbagai spesies akuatik. Ikan merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomi tak langsung yang turut mempertahankan keberadaan kawasan mangrove. Semakin dijaganya ekosistem mangrove maka akan memberikan nilai ekonomi lebih besar bagi masyarakat, sehingga masyarakat sangat berperan dalam menjaga kelestarian ekosistem mangrove.

Dengan dilakukannya pengelolaan kawasan mangrove melalui wanamina maka didapat beberapa manfaat secara ekologi dan ekonomi, yaitu:
1. Menjamin keberadaan ekosistem hutan mangrove dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional.
2. Mengoptimalkan aneka fungsi kawasan tersebut, termasuk fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi yang seimbang secara berkelanjutan.
3. Meningkatkan daya dukung kawasan.
4. Mendukung pengembangan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga menciptakan ketahanan sosial ekonomi.

Untuk pengembangan sistem wanamina (sylvofishery), di kawasan ekosistem hutan mangrove ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan:
1. Rencana pengembangan dan pengelolaan kawasan harus didasarkan atas asas kelestarian manfaat dan keterpaduan, dengan tujuan:
a. Menjamin keberadaan kawasan ekosistem hutan mangrove dengan luasan yang cukup dan sebaran proporsional,
b. Mengoptimalkan aneka fungsi kawasan, termasuk fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan;
c. Mendukung pengembangan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi.
2. Revitalisasi fungsi kawasan hutan mangrove.
3. Pengembangan kegiatan wanamina dengan proporsi 80% kawasan untuk hutan dan 20% untuk usaha perikanan.

Gb. Berbagai Tipe Pola Wanamina
Sebagai kawasan hutan prinsip pengelolaan hutan mangrove tidak berbeda dengan pengelolaan hutan secara umum.  Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara harmonis dan seimbang. Oleh karena itu hutan harus dikelola dan diurus, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya.

Metode wanamina (silvofisheries) merupakan suatu kegiatan harmonisasi budidaya perikanan dengan hutan mangrove. Dimana dalam hal ini komoditas budidaya adalah ikan bandeng dan vegetasi hutan mangrove adalah Rhizopora sp. dan Avicenia  sp.  Prinsipnya metode ini mengandalkan berbagai jenis burung yang bersarang pada phon mangrove dan kotorannya bermanfaat sebagai pupuk guna menumbuhkan pakan alami berupa klekap. Klekap merupakan makanan bagi ikan bandeng yang terdiri dari berbagai jenis mikro organisme dan membentuk flok. Prinsip keseimbangan (Principle of harmony) menjadi dasar bagi terwujudnya budidaya berkelanjutan (sustainable aquaculture). Keseimbangan yang dimaksud adalah bahwa pengelolaan perikanan budidaya harus mampu menjamin berjalannya siklus dan interaksi yang saling menguntungkan dalam sebuah ekosistem.

Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini tengah serius mewujudkan prinsip Blue Economy dalam pengelolaan suumberdaya kelautan dan perikanan. Prinsip utama dari blue economy tersebut di antaranya adalah:
1) kepedulian terhadap lingkungan (pro-enviroment) karena memastikan bahwa pengelolaannya bersifat zero waste;
2) menjamin keberlanjutan (sustainable);
3) menjamin adanya social inclusiveness;
4) terciptanya pengembangan inovasi bisnis yang beragam (multiple cash flow).
Di tengah perjuangan mencapai visi pembangunan kelautan dan perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat, perlu adanya konsep pembangunan perikanan di bidang budidaya yang sejalan dengan prinsip blue economy.

Dalam upaya membangun Indonesia sebagai negara penghasil produk perikanan terbesar di dunia pada 2015, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya KKP terus menggenjot sektor-sektor yang menunjang program tersebut. Dari target sekitar 6,8 juta ton pada 2011, ditingkatkan menjadi 9,4 juta ton pada 2012. Untuk itu, berbagai langkah dan strategi terus dilakukan pemerintah. Bahkan, sampai 2014 akan digenjot hingga 221 persen dari total awal sekitar 5,26 juta ton, menjadi 16,89 juta ton untuk jenis rumput laut, patin lele, nila, ikan mas, gurame, kakap, ikan kerapu, dan bandeng. Jenis perikanan budidaya untuk udang akan terfokus di daerah Aceh, Lampung, kemudian pantai utara, Bali, Sumbawa sampai Lombok, dan Sulawesi Selatan. Indonesia akan berusaha agar ikan-ikan hasil budidayanya bisa bersaing untuk di ekspor karena mahalnya ikan laut menjadikan alternatif ikan budidaya diminati banyak masyarakat, mulai dari ikan patin, lele, gurame, nila, mas, kakap, dan bandeng sehingga Indonesia bisa menjadi negara penyuplai benih ikan ke luar negeri.

Gb. Pola wanamina Empang Parit
Secara umum terdapat empat model tambak wanamina, yaitu:
--  Empang parit, lahan untuk hutan mangrove dan empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air. Pola ini lahan mangrove dan empang berada dalam satu hamparan dan pengelolaan air diatur dengan satu buah pintu air.
     Keuntungan dari penerapan pola ini adalah bentuknya yang sederhana, sehingga biaya rekonstruksinya relatif lebih murah. Kelemahannya, karena letak hutan dan empang berada dalam satu hamparan, kemungkinan hama pengganggu ikan cukup tinggi, serasah dan dedaunan yang jatuh ke empang dalam jumlah berlebihan dapat mengganggu kehidupan dan pertumbuhan ikan. Fungsi hutan sebagai penyedia pakan alami tak terpenuhi dengan baik karena pertumbuhan ganggang dan plankton kurang, akibat sinar matahari tak dapat mencapai permukaan empang. Tetapi hal ini bisa diatasi dengan dilakukan penjarangan atau pengaturan jarak tanam yang lebih lebar.
Pola empang parit yang disempurnakan. Pola ini merupakan pengembangan dari pola empang parit tradisional, perbedaannya terletak pada jumlah pintu air yaitu 2 buah untuk pemasukan dan 1 buah untuk pengeluaran, serta terdapatnya saluran air tersendiri untuk hutan. Pada pola ini biaya rekonstruksi khususnya untuk pembuatan pematang cukup besar, untuk itu pengerjaannya dapat dilakukan secara bertahap. Produktivitas empang lebih optimal, karena permasalahan seperti pola tradisional dapat dieliminasi. Hambatannya, lahan pemeliharaan ikan kurang terintegrasi dan luasnya terbatas.
--  Komplangan, lahan untuk hutan mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan empang. Pada pola komplangan, areal pemeliharaan ikan dengan lahan hutan bakau terpisah oleh pematang dan dilengkapi dengan 2 buah pintu air masing-masing untuk pemasukan dan pengeluaran air. Pada lahan hutan terdapat pintu air pasang surut bebas.
     Keuntungan dari pola ini adalah bentuknya yang lebih terintegrasi, cukup memperoleh sinar matahari sehingga dapat digunakan untuk budidaya semi intensif.
--  Jalur, merupakan hasil modifikasi dari tambak wanamina model empang parit. Pada tambak wanamina model ini terjadi penambahan saluran-saluran di bagian tengah yang berfungsi sebagai empang.
--  Tanggul, hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling tanggul. Tambak jenis ini yang berkembang di Kelurahan Gresik dan Kariangau Kota Balikpapan.
Berdasarkan 4 pola wanamina dan pola yang berkembang di masyarakat, direkomendasikan pola wanamina kombinasi empat parit dan tanggul. Pemilihan pola ini didasarkan atas pertimbangan:
- Penanaman mangrove di tanggul bertujuan untuk memperkuat tanggul dari longsor, sehingga biaya perbaikan tanggul dapat ditekan dan untuk produksi serasah.
- Penanaman mangrove di tengah bertujuan untuk menjaga keseimbangan perubahan kualitas air dan meningkatkan kesuburan di areal pertambakan.

Jenis mangrove yang biasanya ditanam di tanggul adalah Rhizophora sp. dan Xylocarpus sp. Sedangkan untuk di tengah/pelataran tambak adalah Rhizophora sp. Jarak tanam mangrove di pelataran umumnya 1 m x 2 m pada saat mangrove masih kecil. Setelah tumbuh membesar (4-5 tahun) mangrove harus dijarangkan. Tujuan penjarangan ini untuk memberi ruang gerak yang lebih luas bagi komoditas budidaya. Selain itu sinar matahari dapat lebih banyak masuk ke dalam tambak dan menyentuh dasar pelataran, untuk meningkatkan kesuburan tambak.

Sumber: Supriyanto purnomo; bluppb karawang; pamor mas; kompasiana.

1 komentar:

  1. Malam pak Murni

    Terimakasih atas artikelnya pak, sangat bermanfaat.
    sebelumnya apakah saya boleh meminta sumber aslinya pak? kebetulan saya sedang melakukan penelitian terkait dengan wanamina. Terimakasih

    BalasHapus